Sejarah Indonesia meliputi suatu rentang waktu yang
sangat panjang yang dimulai sejak zaman prasejarah berdasarkan penemuan
“Manusia Jawa” yang berusia 1,7 juta
tahun yang lalu. Periode sejarah Indonesia dapat dibagi menjadi lima
era: Era Prakolonial, munculnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha serta
Islam di Jawa dan Sumatera yang terutama mengandalkan perdagangan; Era
Kolonial, masuknya orang-orang Eropa (terutama Belanda) yang
menginginkan rempah-rempah mengakibatkan penjajahan oleh Belanda selama
sekitar 3,5 abad antara awal abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20;
Era Kemerdekaan Awal, pasca-Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1945)
sampai jatuhnya Soekarno (1966); Era Orde Baru, 32 tahun masa
pemerintahan Soeharto (1966–1998),serta Era Reformasi yang berlangsung
sampai sekarang
Prasejarah
Secara geologi,
wilayah Indonesia modern (untuk kemudahan, selanjutnya disebut
Nusantara) merupakan pertemuan antara tiga lempeng benua utama: Lempeng
Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik (lihat artikel
Geologi Indonesia). Kepulauan Indonesia seperti yang ada saat ini
terbentuk pada saat melelehnya es setelah berakhirnya Zaman Es, hanya
10.000 tahun yang lalu
Pada masa Pleistosen, ketika masih terhubung dengan Asia
Daratan, masuklah pemukim pertama. Bukti pertama yang menunjukkan
penghuni pertama adalah fosil-fosil Homo erectus manusia Jawa dari masa 2
juta hingga 500.000 tahun lalu. Penemuan sisa-sisa “manusia Flores”
(Homo floresiensis)[1] di Liang Bua, Flores, membuka kemungkinan masih
bertahannya H. erectus hingga masa Zaman Es terakhir
Homo sapiens pertama diperkirakan masuk ke Nusantara sejak
100.000 tahun yang lalu melewati jalur pantai Asia dari Asia Barat, dan
pada sekitar 50.000 tahun yang lalu telah mencapai Pulau Papua dan
Australia.[3] Mereka, yang berciri rasial berkulit gelap dan berambut
ikal rapat (Negroid), menjadi nenek moyang penduduk asli Melanesia
(termasuk Papua) sekarang dan membawa kultur kapak lonjong
(Paleolitikum). Gelombang pendatang berbahasa Austronesia dengan kultur
Neolitikum datang secara bergelombang sejak 3000 SM dari Cina Selatan
melalui Formosa dan Filipina membawa kultur beliung persegi (kebudayaan
Dongson). Proses migrasi ini merupakan bagian dari pendudukan Pasifik.
Kedatangan gelombang penduduk berciri Mongoloid ini cenderung ke arah
barat, mendesak penduduk awal ke arah timur atau berkimpoi campur dengan
penduduk setempat dan menjadi ciri fisik penduduk Maluku serta Nusa Tenggara.
Pendatang ini membawa serta teknik-teknik pertanian, termasuk bercocok
tanam padi di sawah (bukti paling lambat sejak abad ke-8 SM), beternak
kerbau, pengolahan perunggu dan besi, teknik tenun ikat, praktek-praktek
megalitikum, serta pemujaan roh-roh (animisme) serta benda-benda
keramat (dinamisme). Pada abad pertama SM sudah terbentuk
pemukiman-pemukiman serta kerajaan-kerajaan kecil, dan sangat mungkin
sudah masuk pengaruh kepercayaan dari India akibat hubungan perniagaan.
Era pra kolonial
Sejarah awal
Para cendekiawan India
telah menulis tentang Dwipantara atau kerajaan Hindu Jawa Dwipa di
pulau Jawa dan Sumatra sekitar 200 SM. Bukti fisik awal yang menyebutkan
tanggal adalah dari abad ke-5 mengenai dua kerajaan bercorak Hinduisme:
Kerajaan Tarumanagara menguasai Jawa Barat dan Kerajaan Kutai di pesisir Sungai Mahakam, Kalimantan. Pada tahun 425 agama Buddha telah mencapai wilayah tersebut.
Di saat Eropa memasuki masa Renaisans, Nusantara telah
mempunyai warisan peradaban berusia ribuan tahun dengan dua kerajaan
besar yaitu Sriwijaya di Sumatra
dan Majapahit di Jawa, ditambah dengan puluhan kerajaan kecil yang
sering kali menjadi vazal tetangganya yang lebih kuat atau saling
terhubung dalam semacam ikatan perdagangan (seperti di Maluku).
[sunting] Kerajaan Hindu-Buddha
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sejarah Nusantara pada era kerajaan Hindu-Buddha
Prasasti Tugu peninggalan Raja Purnawarman dari Taruma
Pada abad ke-4 hingga abad ke-7 di wilayah Jawa Barat terdapat
kerajaan bercorak Hindu-Budha yaitu kerajaan Tarumanagara yang
dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16. Pada masa abad ke-7
hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di
Sumatra. Penjelajah Tiongkok I Ching mengunjungi ibukotanya Palembang
sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah
sejauh Jawa Barat dan Semenanjung Melayu. Abad ke-14 juga menjadi saksi
bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih
Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada berhasil memperoleh
kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia
beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada
termasuk kodifikasi hukum dan dalam kebudayaan Jawa, seperti yang
terlihat dalam wiracarita Ramayana.
Kerajaan Islam
Islam sebagai sebuah
pemerintahan hadir di Indonesia sekitar abad ke-12, namun sebenarnya
Islam sudah sudah masuk ke Indonesia pada abad 7 Masehi. Saat itu sudah
ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui Selat
Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia
Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat sejak abad 7.[4]
Menurut sumber-sumber Cina menjelang akhir perempatan ketiga
abad 7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim di
pesisir pantai Sumatera. Islam pun memberikan pengaruh kepada institusi
politik yang ada. Hal ini nampak pada Tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya
Jambi yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar
bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Bani Umayyah meminta dikirimkan da’i
yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Surat itu berbunyi: “Dari Raja di
Raja yang adalah keturunan seribu raja, yang isterinya juga cucu seribu
raja, yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah, yang di
wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu
wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau
jarak 12 mil, kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain
dengan Allah. Saya telah mengirimkan kepada anda hadiah, yang
sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda
persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang
dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang
hukum-hukumnya.” Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja
Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun
dikenal dengan nama ‘Sribuza Islam’. Sayang, pada tahun 730 M Sriwijaya
Jambi ditawan oleh Sriwijaya Palembang yang masih menganut Budha.[5]
Islam terus mengokoh menjadi institusi politik yang mengemban
Islam. Misalnya, sebuah kesultanan Islam bernama Kesultanan Peureulak
didirikan pada 1 Muharram 225 H atau 12 November 839 M. Contoh lain
adalah Kerajaan Ternate. Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini
tahun 1440. Rajanya seorang Muslim bernama Bayanullah.
Kesultanan Islam kemudian semikin menyebarkan ajaran-ajarannya
ke penduduk dan melalui pembauran, menggantikan Hindu sebagai
kepercayaan utama pada akhir abad ke-16 di Jawa dan Sumatera. Hanya Bali
yang tetap mempertahankan mayoritas Hindu. Di kepulauan-kepulauan di
timur, rohaniawan-rohaniawan Kristen dan Islam diketahui sudah aktif
pada abad ke-16 dan 17, dan saat ini ada mayoritas yang besar dari kedua
agama di kepulauan-kepulauan tersebut.
Penyebaran Islam dilakukan melalui hubungan perdagangan di
luar Nusantara; hal ini, karena para penyebar dakwah atau mubaligh
merupakan utusan dari pemerintahan Islam yang datang dari luar
Indonesia, maka untuk menghidupi diri dan keluarga mereka, para mubaligh
ini bekerja melalui cara berdagang, para mubaligh inipun menyebarkan
Islam kepada para pedagang dari penduduk asli, hingga para pedagang ini
memeluk Islam dan meyebarkan pula ke penduduk lainnya, karena umumnya
pedagang dan ahli kerajaan lah yang pertama mengadopsi agama baru
tersebut. Kerajaan Islam penting termasuk diantaranya: Kerajaan Samudera
Pasai, Kesultanan Banten yang menjalin hubungan diplomatik dengan
negara-negara Eropa, Kerajaan Mataram, dan Kesultanan Ternate dan
Kesultanan Tidore di Maluku
karikatur sejarah indonesia
Lagu kebangsaan Indonesia
Era kolonial
Kolonisasi VOC
Mulai tahun 1602 Belanda secara perlahan-lahan menjadi penguasa wilayah
yang kini adalah Indonesia, dengan memanfaatkan perpecahan di antara
kerajaan-kerajaan kecil yang telah menggantikan Majapahit. Satu-satunya
yang tidak terpengaruh adalah Timor Portugis, yang tetap dikuasai
Portugal hingga 1975 ketika berintegrasi menjadi provinsi Indonesia
bernama Timor Timur. Belanda menguasai Indonesia selama hampir 350
tahun, kecuali untuk suatu masa pendek di mana sebagian kecil dari
Indonesia dikuasai Britania setelah Perang Jawa Britania-Belanda dan
masa penjajahan Jepang pada masa Perang Dunia II. Sewaktu menjajah
Indonesia, Belanda mengembangkan Hindia-Belanda menjadi salah satu
kekuasaan kolonial terkaya di dunia. 350 tahun penjajahan Belanda bagi
sebagian orang adalah mitos belaka karena wilayah Aceh baru ditaklukkan
kemudian setelah Belanda mendekati kebangkrutannya.
Logo VOC
Pada abad ke-17 dan 18 Hindia-Belanda tidak dikuasai secara
langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama
Perusahaan Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Verenigde Oostindische
Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap
perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen
Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama
Jakarta.
Tujuan utama VOC adalah mempertahankan monopolinya terhadap
perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Hal ini dilakukan melalui
penggunaan dan ancaman kekerasan terhadap penduduk di
kepulauan-kepulauan penghasil rempah-rempah, dan terhadap orang-orang
non-Belanda yang mencoba berdagang dengan para penduduk tersebut.
Contohnya, ketika penduduk Kepulauan Banda terus menjual biji pala
kepada pedagang Inggris, pasukan Belanda membunuh atau mendeportasi
hampir seluruh populasi dan kemudian mempopulasikan pulau-pulau tersebut
dengan pembantu-pembantu atau budak-budak yang bekerja di perkebunan
pala.
VOC menjadi terlibat dalam politik internal Jawa pada masa
ini, dan bertempur dalam beberapa peperangan yang melibatkan pemimpin
Mataram dan Banten.
Kolonisasi pemerintah Belanda
setelah VOC
jatuh bangkrut pada akhir abad ke-18 dan setelah kekuasaan Britania yang
pendek di bawah Thomas Stamford Raffles, pemerintah Belanda mengambil
alih kepemilikan VOC pada tahun 1816. Sebuah pemberontakan di Jawa
berhasil ditumpas dalam Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830. Setelah
tahun 1830 sistem tanam paksa yang dikenal sebagai cultuurstelsel dalam
bahasa Belanda mulai diterapkan. Dalam sistem ini, para penduduk dipaksa
menanam hasil-hasil perkebunan yang menjadi permintaan pasar dunia pada
saat itu, seperti teh, kopi dll. Hasil tanaman itu kemudian diekspor ke
mancanegara. Sistem ini membawa kekayaan yang besar kepada para
pelaksananya – baik yang Belanda maupun yang Indonesia. Sistem tanam
paksa ini adalah monopoli pemerintah dan dihapuskan pada masa yang lebih
bebas setelah 1870.
Pada 1901 pihak Belanda mengadopsi apa yang mereka sebut
Kebijakan Beretika (bahasa Belanda: Ethische Politiek), yang termasuk
investasi yang lebih besar dalam pendidikan bagi orang-orang pribumi,
dan sedikit perubahan politik. Di bawah gubernur-jendral J.B. van Heutsz
pemerintah Hindia-Belanda memperpanjang kekuasaan kolonial secara
langsung di sepanjang Hindia-Belanda, dan dengan itu mendirikan fondasi
bagi negara Indonesia saat ini.
Gerakan nasionalisme
Pada 1905 gerakan
nasionalis yang pertama, Serikat Dagang Islam dibentuk dan kemudian
diikuti pada tahun 1908 oleh gerakan nasionalis berikutnya, Budi Utomo.
Belanda merespon hal tersebut setelah Perang Dunia I dengan
langkah-langkah penindasan. Para pemimpin nasionalis berasal dari
kelompok kecil yang terdiri dari profesional muda dan pelajar, yang
beberapa di antaranya telah dididik di Belanda. Banyak dari mereka yang
dipenjara karena kegiatan politis, termasuk Presiden Indonesia yang
pertama, Soekarno.
Perang Dunia II
Pada Mei 1940, awal Perang
Dunia II, Belanda diduduki oleh Nazi Jerman. Hindia-Belanda mengumumkan
keadaan siaga dan di Juli mengalihkan ekspor untuk Jepang ke Amerika
Serikat dan Britania. Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk
mengamankan persediaan bahan bakar pesawat gagal di Juni 1941, dan
Jepang memulai penaklukan Asia Tenggara di bulan Desember tahun itu. Di
bulan yang sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan Jepang untuk
mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda yang
terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942.
Pendudukan Jepang
pada Juli 1942, Soekarno
menerima tawaran Jepang untuk mengadakan kampanye publik dan membentuk
pemerintahan yang juga dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan
militer Jepang. Soekarno, Mohammad Hatta, dan para Kyai didekorasi oleh
Kaisar Jepang pada tahun 1943. Tetapi, pengalaman dari penguasaan Jepang
di Indonesia sangat bervariasi, tergantung di mana seseorang hidup dan
status sosial orang tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap
penting dalam peperangan, mereka mengalami siksaan, terlibat perbudakan
seks, penahanan sembarang dan hukuman mati, dan kejahatan perang
lainnya. Orang Belanda dan campuran Indonesia-Belanda merupakan target
sasaran dalam penguasaan Jepang.
Pada Maret 1945 Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada pertemuan pertamanya di
bulan Mei, Soepomo membicarakan integrasi nasional dan melawan
individualisme perorangan; sementara itu Muhammad Yamin mengusulkan
bahwa negara baru tersebut juga sekaligus mengklaim Sarawak, Sabah,
Malaya, Portugis Timur, dan seluruh wilayah Hindia-Belanda sebelum
perang.
Pada 9 Agustus 1945 Soekarno, Hatta dan Radjiman
Widjodiningrat diterbangkan ke Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi.
Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang menuju kehancuran tetapi
Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus
Era kemerdekaan
Proklamasi kemerdekaan
Mendengar kabar bahwa Jepang tidak lagi mempunyai kekuatan untuk
membuat keputusan seperti itu pada 16 Agustus, Soekarno membacakan
“Proklamasi” pada hari berikutnya. Kabar mengenai proklamasi menyebar
melalui radio dan selebaran sementara pasukan militer Indonesia pada
masa perang, Pasukan Pembela Tanah Air (PETA), para pemuda, dan lainnya
langsung berangkat mempertahankan kediaman Soekarno.
Pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) melantik Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai
Wakil Presiden dengan menggunakan konstitusi yang dirancang beberapa
hari sebelumnya. Kemudian dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) sebagai parlemen sementara hingga pemilu dapat dilaksanakan.
Kelompok ini mendeklarasikan pemerintahan baru pada 31 Agustus dan
menghendaki Republik Indonesia yang terdiri dari 8 provinsi: Sumatra,
Kalimantan (tidak termasuk wilayah Sabah, Sarawak dan Brunei), Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku (termasuk Papua) dan
Nusa Tenggara.
Perang kemerdekaan
Dari 1945 hingga 1949,
persatuan kelautan Australia yang bersimpati dengan usaha kemerdekaan,
melarang segala pelayaran Belanda sepanjang konflik ini agar Belanda
tidak mempunyai dukungan logistik maupun suplai yang diperlukan untuk
membentuk kembali kekuasaan kolonial.
Usaha Belanda untuk kembali berkuasa dihadapi perlawanan yang
kuat. Setelah kembali ke Jawa, pasukan Belanda segera merebut kembali
ibukota kolonial Batavia, akibatnya para nasionalis menjadikan
Yogyakarta sebagai ibukota mereka. Pada 27 Desember 1949 (lihat artikel
tentang 27 Desember 1949), setelah 4 tahun peperangan dan negosiasi,
Ratu Juliana dari Belanda memindahkan kedaulatan kepada pemerintah
Federal Indonesia. Pada 1950, Indonesia menjadi anggota ke-60 PBB.
Demokrasi parlementer
Tidak lama setelah itu,
Indonesia mengadopsi undang-undang baru yang terdiri dari sistem
parlemen di mana dewan eksekutifnya dipilih oleh dan bertanggung jawab
kepada parlemen atau MPR. MPR terbagi kepada partai-partai politik
sebelum dan sesudah pemilu pertama pada tahun 1955, sehingga koalisi
pemerintah yang stabil susah dicapai.
Peran Islam di Indonesia menjadi hal yang rumit. Soekarno
lebih memilih negara sekuler yang berdasarkan Pancasila sementara
beberapa kelompok Muslim lebih menginginkan negara Islam atau
undang-undang yang berisi sebuah bagian yang menyaratkan umat Islam
takluk kepada hukum Islam.
Demokrasi Terpimpin
Pemberontakan yang gagal
di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya yang dimulai
sejak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru,
melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika
Presiden Soekarno secara unilateral membangkitkan kembali konstitusi
1945 yang bersifat sementara, yang memberikan kekuatan presidensil yang
besar, dia tidak menemui banyak hambatan.
Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim
yang otoriter di bawah label “Demokrasi Terpimpin”. Dia juga menggeser
kebijakan luar negeri Indonesia menuju non-blok, kebijakan yang didukung
para pemimpin penting negara-negara bekas jajahan yang menolak aliansi
resmi dengan Blok Barat maupun Blok Uni Soviet. Para pemimpin tersebut
berkumpul di Bandung, Jawa Barat pada tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika
untuk mendirikan fondasi yang kelak menjadi Gerakan Non-Blok.
Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, Soekarno bergerak lebih
dekat kepada negara-negara komunis Asia dan kepada Partai Komunis
Indonesia (PKI) di dalam negeri. Meski PKI merupakan partai komunis
terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan China, dukungan massanya tak
pernah menunjukkan penurutan ideologis kepada partai komunis seperti di
negara-negara lainnya.
Demokrasi Terpimpin
Pemberontakan yang gagal
di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya yang dimulai
sejak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru,
melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika
Presiden Soekarno secara unilateral membangkitkan kembali konstitusi
1945 yang bersifat sementara, yang memberikan kekuatan presidensil yang
besar, dia tidak menemui banyak hambatan.
Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim
yang otoriter di bawah label “Demokrasi Terpimpin”. Dia juga menggeser
kebijakan luar negeri Indonesia menuju non-blok, kebijakan yang didukung
para pemimpin penting negara-negara bekas jajahan yang menolak aliansi
resmi dengan Blok Barat maupun Blok Uni Soviet. Para pemimpin tersebut
berkumpul di Bandung, Jawa Barat pada tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika
untuk mendirikan fondasi yang kelak menjadi Gerakan Non-Blok.
Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, Soekarno bergerak lebih
dekat kepada negara-negara komunis Asia dan kepada Partai Komunis
Indonesia (PKI) di dalam negeri. Meski PKI merupakan partai komunis
terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan China, dukungan massanya tak
pernah menunjukkan penurutan ideologis kepada partai komunis seperti di
negara-negara lainnya.
Nasib Irian Barat
Pada saat kemerdekaan,
pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaan terhadap belahan barat pulau
Nugini (Papua), dan mengizinkan langkah-langkah menuju
pemerintahan-sendiri dan pendeklarasian kemerdekaan pada 1 Desember
1961.
Negosiasi dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah
tersebut dengan Indonesia gagal, dan pasukan penerjun payung Indonesia
mendarat di Irian pada 18 Desember sebelum kemudian terjadi pertempuran
antara pasukan Indonesia dan Belanda pada 1961 dan 1962. Pada 1962
Amerika Serikat menekan Belanda agar setuju melakukan perbincangan
rahasia dengan Indonesia yang menghasilkan Perjanjian New York pada
Agustus 1962, dan Indonesia mengambil alih kekuasaan terhadap Irian Jaya
pada 1 Mei 1963.
Gerakan 30 September
Hingga 1965, PKI telah
menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno untuk
memperkuat dukungan untuk rezimnya dan, dengan persetujuan dari
Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk “Angkatan Kelima” dengan
mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal ini.
Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang
lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal
istana yang loyal kepada PKI. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat
saat itu, Mayjen Soeharto, menumpas kudeta tersebut dan berbalik melawan
PKI. Soeharto lalu menggunakan situasi ini untuk mengambil alih
kekuasaan. Lebih dari puluhan ribu orang-orang yang dituduh komunis
kemudian dibunuh. Jumlah korban jiwa pada 1966 mencapai setidaknya
500.000; yang paling parah terjadi di Jawa dan Bali
Era Orde Baru
Setelah Soeharto menjadi
Presiden, salah satu pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan
Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September
1966 mengumumkan bahwa Indonesia “bermaksud untuk melanjutkan kerjasama
dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB”, dan
menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16
tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa
jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali
secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Presiden Soeharto memulai “Orde Baru” dalam dunia politik
Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam
negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan
utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang
didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat.
Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan
pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia.
Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun
1970-an dan 1980-an. Dia juga memperkaya dirinya, keluarganya, dan
rekan-rekat dekat melalui korupsi yang merajalela.
Irian Jaya
Setelah menolak supervisi dari
PBB, pemerintah Indonesia melaksanakan “Act of Free Choice” (Aksi
Pilihan Bebas) di Irian Jaya pada 1969 di mana 1.025 wakil kepala-kepala
daerah Irian dipilih dan kemudian diberikan latihan dalam bahasa
Indonesia. Mereka secara konsensus akhirnya memilih bergabung dengan
Indonesia. Sebuah resolusi Sidang Umum PBB kemudian memastikan
perpindahan kekuasaan kepada Indonesia. Penolakan terhadap pemerintahan
Indonesia menimbulkan aktivitas-aktivitas gerilya berskala kecil pada
tahun-tahun berikutnya setelah perpindahan kekuasaan tersebut. Dalam
atmosfer yang lebih terbuka setelah 1998, pernyataan-pernyataan yang
lebih eksplisit yang menginginkan kemerdekaan dari Indonesia telah
muncul.
Timor Timur
Dari 1596 hingga 1975, Timor
Timur adalah sebuah jajahan Portugis di pulau Timor yang dikenal sebagai
Timor Portugis dan dipisahkan dari pesisir utara Australia oleh Laut
Timor. Akibat kejadian politis di Portugal, pejabat Portugal secara
mendadak mundur dari Timor Timur pada 1975. Dalam pemilu lokal pada
tahun 1975, Fretilin, sebuah partai yang dipimpin sebagian oleh
orang-orang yang membawa paham Marxisme, dan UDT, menjadi partai-partai
terbesar, setelah sebelumnya membentuk aliansi untuk mengkampanyekan
kemerdekaan dari Portugal.
Pada 7 Desember 1975, pasukan Indonesia masuk ke Timor Timur.
Indonesia, yang mempunyai dukungan material dan diplomatik, dibantu
peralatan persenjataan yang disediakan Amerika Serikat dan Australia,
berharap dengan memiliki Timor Timur mereka akan memperoleh tambahan
cadangan minyak dan gas alam, serta lokasi yang strategis.
Pada masa-masa awal, pihak militer Indonesia (ABRI) membunuh
hampir 200.000 warga Timor Timur — melalui pembunuhan, pemaksaan
kelaparan dan lain-lain. Banyak pelanggaran HAM yang terjadi saat Timor
Timur berada dalam wilayah Indonesia.
Pada 30 Agustus 1999, rakyat Timor Timur memilih untuk
memisahkan diri dari Indonesia dalam sebuah pemungutan suara yang
diadakan PBB. Sekitar 99% penduduk yang berhak memilih turut serta;
3/4-nya memilih untuk merdeka. Segera setelah hasilnya diumumkan,
dikabarkan bahwa pihak militer Indonesia melanjutkan pengrusakan di
Timor Timur, seperti merusak infrastruktur di daerah tersebut.
Pada Oktober 1999, MPR membatalkan dekrit 1976 yang
mengintegrasikan Timor Timur ke wilayah Indonesia, dan Otorita Transisi
PBB (UNTAET) mengambil alih tanggung jawab untuk memerintah Timor Timur
sehingga kemerdekaan penuh dicapai pada Mei 2002 sebagai negara Timor
Leste.
Krisis ekonomi
Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya didampingi B.J. Habibie.
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan
ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai
kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan
komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi
meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang
awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di
tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, serta ribuan mahasiswa yang
menduduki gedung DPR/MPR, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998,
tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto
kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi
presiden ketiga Indonesia
Era reformasi
Pemerintahan Habibie
Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas
pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter
Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan
ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi
kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.
Pemerintahan Wahid
Pemilu untuk MPR, DPR, dan
DPRD diadakan pada 7 Juni 1999. PDI Perjuangan pimpinan putri Soekarno,
Megawati Sukarnoputri keluar menjadi pemenang pada pemilu parlemen
dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai Soeharto –
sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh
22%; Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai
Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada
Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan
Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid
membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal
November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000.
Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi
dan perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping
ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga
menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama di Aceh,
Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor
Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan
para militan Timor Timur pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah
kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan tekanan
menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan
politik yang meluap-luap.
Pemerintahan Megawati
Pada Sidang Umum MPR
pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan pertanggung
jawabannya. Pada 29 Januari 2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan
meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya
dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki
manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan
keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada
wakil presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak
lama kemudian.
Pemerintahan Yudhoyono
Pada 2004, pemilu satu
hari terbesar di dunia diadakan dan Susilo Bambang Yudhoyono tampil
sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa
kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti
gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh
lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005 yang
mengguncang Sumatra.
Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil
dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang
bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah
Aceh
sumber: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=3280555
Tidak ada komentar:
Posting Komentar