Bagaimana Sejarah Batik Ponorogo?
Secara Kebudayaan, Batik Masuk Ke Ponorogo Sejak Abad Ke 15, Ketika Ki Ageng Hasan Besari Tegalsari Menikah Dengan Salah Satu Putri Keraton Surakarta. Pada Saat Itu Juga Kebudayaan Keraton Surakarta Di Bawa Ke Ponorogo Termasuk Batik. Hingga Kemudian Pada Awal Abad Ke 20 (Sekitar Tahun 1900-1930an), Adalah Era Dimulainya Industri Batik Di Ponorogo.
Konon seorang pengusaha Tionghoa bernama Wi-Sing memiliki
sebuah usaha produksi batik yang besar, yang mampu memproduksi kain
batik dalam jumlah yang banyak. Produksi batik dari rumah produksi batik
Wi-Sing ini dipasarkan hingga ke Malaysia dan Jepang. Kesuksesan Wi-Sing
inilah kemudian menginspirasi masyarakat Ponorogo mendirikan industri
batik. Bermula belajar dari para teknisi batik asal Tulungagung yang
datang ke Ponorogo, maka industri batik di Ponorogo semakin berkembang
dan semakin banyak masyarakat Ponorogo yang menekuni industri batik.
Industri batik Wi-Sing bertempat di utara komplek stasiun kereta api
Ponorogo ,Jl.Soekarno-Hatta, sekarang . Produksi batik Ponorogo dari
Wi-Sing didominasi batik kasar yang berharga murah, istilahnya batik Banyumasan. Tidak ada
yang mencatat sejak kapan Wi-Sing memulai industri batiknya di
Ponorogo. Bersama dengan berkembangnya industri batik di Ponorogo dan
situasi negara Indonesia yang masih belum stabil, pada tahun 40-an industri batik Wi-Sing perlahan-lahan surut hingga akhirnya tutup dan konon kabarnya seluruh keluarga Wi-Sing pindah ke Malaysia dan menjadi warga negara disana.
Semakin banyak masyarakat Ponorogo yang terjun di industri Batik,
hingga kemudian pada tahun 1948, berdirilah koperasi batik yang pertama
di Ponorogo, yaitu “Koperasi Batik Bakti”. Pada waktu
itu masih sedikit yang menjadi anggota koperasi, hingga kemudian tahun
1955, terkumpul lebih dari 300 anggota, yang semuanya adalah pengusaha
dan pengrajin batik. Kantor Koperasi Batik Bakti Ponorogo pertama
berdiri berlokasi di rumah bapak Jamhuri (di Jl.KH.Ahmad Dahlan No.71,
sekarang). 2 tahun kemudian Koperasi Batik Bakti mampu membangun kantor
nya sendiri di timur Pasar Legi (Timur Pasar Songgolangit, Jl.Ahmad
Dahlan No.43, sekarang).
Koperasi Batik Bakti ini berkembang sangat pesat, hingga pada tahun
1956 mampu membangun pabrik tekstil sendiri milik Koperasi Batik Bakti,
berlokasi di desa Purwosari Kecamatan Babadan. Pabrik tekstil ini mulai
beroperasi pada tahun 1958, tetapi belum mempunyai mesin tenun yang
memadai. Seiring dengan meningkatnya produksi, kemudian mesin tenun
semakin bertambah jumlahnya, yang khusus didatangkan dari Jepang, hingga
berjumlah kurang lebih 100 buah mesin. Tiap 1 buah mesin tenun ini
mampu memproduksi kain mori (kain putih polos
untuk bahan batik) sebanyak 48 yard (91,2 meter) per harinya atau
sekitar 9.120 meter kain per hari. Semua hasil produksi dari pabrik
tekstil ini seluruhnya hanya untuk memenuhi kebutuhan anggotanya saja.
Bisa dibayangkan betapa sangat besar dan majunya industri batik di
Ponorogo waktu itu. Namun sekarang, pabrik tekstil milik Koperasi Bakti
ini sudah di tutup dan tidak beroperasi lagi sejak tahun 2002 silam.
Sentra Industri batik di Ponorogo waktu itu tersebar hingga ke daerah Kertosari, Patihan Wetan (Kauman Pasar Pon, dulu), Pondok, Cekok, Kadipaten, Ngunut dan Kanten di wilayah kecamatan Babadan. Di wilayah kecamatan Ponorogo seperti di Nologaten, Bangunsari, Banyudono, Cokromenggalan dan Mangunsuman. Untuk wilayah kecamatan Jenangan di Setono dan wilayah kecamatan Siman di Kelurahan Ronowijayan. Banyaknya jumlah pengusaha dan pengrajin batik ini kemudian menginspirasi untuk membuat sebuah koperasi batik sendiri, setelah Koperasi Batik Bakti.
Koperasi batik yang baru ini hasil gabungan dari 3 koperasi batik
yang sudah ada–Koperasi Batik Kertosari, Koperasi Batik Patihan Wetan
dan Koperasi Perbaikan di desa Pondok, Babadan–hingga kemudian
terbentuklah koperasi batik yang di beri nama “Koperasi Pembatik” pada tanggal 9 Desember 1953.
Kantor Koperasi Pembatik ini pada awalnya berada di rumah Bapak
Wongsohartono di desa Pondok kecamatan Babadan. Kemudian Dalam waktu
yang singkat, pada tahun 1955, Koperasi Pembatik telah mempunyai 150
anggota dan mencatatkan omzet hingga 5juta rupiah setiap bulannya.
Pada tahun 1960, Koperasi Pembatik memulai mendirikan pabrik tekstil
“Sandang Buana”, berlokasi di Jl.Arif Rahman Hakim, sekarang digunakan
menjadi Pabrik Es. Pabrik tekstil ini beroperasi tahun 1964 dan secara
bertahap kemudian mempunyai kurang lebih 200 mesin, yang mampu
memproduksi kain mori kasar (kain blacu) sebanyak 25 meter per hari, per
mesin. Hasil produksi kain mori kasar ini kemudian di finishing di
Solo, menjadi kain mori halus. Seperti halnya pabrik tekstil milik
Koperasi Bakti, hasil dari pabrik tekstil Sandang Buana juga hanya untuk
memenuhi kebutuhan anggota Koperasi Pembatik saja. Senasib dengan
pabrik tekstil milik Koperasi Bakti, pabrik tekstil Sandang Buana pun
akhirnya tutup dan tidak beroperasi lagi sejak tahun 2004. Sampai saat
ini di Ponorogo masih ada 2 koperasi batik yang besar yaitu Koperasi
Bakti & Koperasi Pembatik, hanya saja para anggotanya sudah tidak
memproduksi batik .
Industri batik di Ponorogo meredup sekitar akhir tahun ‘60an hingga
tahun ‘70an. Banyak faktor yang mempengaruhi surutnya industri batik di
Ponorogo. Salah satunya adalah munculnya batik printing (batik dengan
cetak sablon). Batik printing ini harganya lebih murah karena biaya
produksi lebih ekonomis dan mampu memproduksi masal hanya dalam waktu
yang singkat. Semenjak itu, jatah bahan mentah untuk batik dari
koperasi–seperti kain,bahan pewarna,malam, dsb–akhirnya di jual dengan
begitu saja, tidak untuk memproduksi batik. Dari penjualan bahan mentah
batik ini saja, para pengusaha dan pengrajin batik anggota koperasi
sudah mendapatkan untung yang berlipat, demikian yang dituturkan Bapak
Muchsin, sesepuh Koperasi Batik Bakti.
Lambat laun, semakin banyak pengusaha dan pengrajin batik yang tidak
memproduksi batik lagi, bahkan kemudian beralih profesi/bidang usaha .
Sisa-sisa kejayaan industri batik Ponorogo masih bisa kita saksikan di
gaya arsitektur rumah dan bangunan yang ada di daerah-daerah sentra
industri batik. Rumah dan bangunannya kebanyakan kurang lebih sama,
yaitu sedikit berbau arsitektur Eropa dengan konstruksi yang tebal dan
kokoh, atap yang tinggi, pilar yang besar, pintu dan jendela kaca.
Corak dan motif batik Ponorogo banyak mengangkat tema flora dan fauna yang motifnya condong ke Solo dan Yogjakarta. Motif batik Ponorogo waktu itu antara lain adalah Kawung, Sekar Jagad, Parang Lancip, Parang Menang, Semen Rama, Loreng dan lain sebagainya, yang sekarang di abadikan menjadi nama-nama jalan di daerah sentra industri batik seperti di Cokromenggalan, Kertosari, Patihan Wetan dan Kadipaten. Saat ini masih ada beberapa pengrajin yang masih memproduksi batik, baik batik tulis atau pun batik cap. Skala produksinya tentu saja sangat kecil, dibandingkan dengan kejayaan batik masa lalu. Salah satu pengrajin batik yang masih bertahan di Ponorogo adalah Ibu Mariana. Lokasi produksi batik Ponorogo Ibu Mariana ini berada di Jl. Semeru No.30 Kelurahan Nologaten kecamatan Ponorogo. Beliau hingga saat ini masih memproduksi batik tulis dan batik cap secara tradisional.
Soal motif batik, sebenarnya batik Ponorogo belum mempunyai motif
yang menciri-khaskan Ponorogo, begitu yang di tuturkan Ibu Mariana.
Istilahnya, motif Batik Ponorogo masih belum menemukan
cengkok yang menciri-khaskan Ponorogo. Beliau membuat sendiri motif
merak–diambil dari kesenian Reyog Ponorogo–yang biasa dijumpai dan
dipakai ketika acara Grebeg Suro. Salah satu motif merak yang terkenal
hasil kreasi Ibu Mariana ini kemudian di namai motif Merak Grebeg. Masih
ada lagi beberapa motif merak kreasi ibu Mariana, tetapi karena
jumlahnya masih sangat sedikit, sehingga belum bisa disebut sebagai
sebuah ciri-khas Ponorogo. Menurut ibu Mariana, butuh lebih banyak lagi
pengrajin, pengusaha dan seniman batik Ponorogo yang memproduksi batik,
untuk akhirnya menemukan cengkok dan melahirkan legitimasi motif ciri
khas Ponorogo.
Selain ibu Mariana, ada satu lagi pengrajin batik tulis yang
produktif, yaitu Mas Nano dari desa Nambak kecamatan Bungkal (persis
sebelah barat balai desa Nambak). Setiap bulannya perusaahan Fajar Batik
miliknya, dengan 15 orang karyawan, mampu memproduksi kurang lebih 20
lembar kain batik tulis. Batik tulis produksi Fajar Batik mas Nano, di
pasarkan di Jakarta selalu laris manis habis terjual dengan harga
berkisar 200 ribu untuk batik yang menggunakan pewarna sintetis dan
berkisar 300 ribu untuk batik tulis dengan menggunakan pewarna alami
dari dedaunan. Motif batik Fajar Batik mas Nano ini banyak bercerita
tentang kesenian Reyog Ponorogo, seperti motif kuda kepang yang di beri
nama motif Kepang Pecut dan Merak Kepang. Usaha batik ini adalah usaha
turun temurun dari generasi ke generasi, meskipun sempat terputus,
tetapi sekarang dilanjutkan lagi oleh mas Nano. Batik Ponorogo
mempunyai keunggulan di pewarnaannya, begitu yang di tuturkan mas Nano.
Hal tersebut dikarenakan air di Ponorogo banyak mengandung kapur, yang
mana bagus untuk pewarnaan batik.
Batik Indonesia, sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta
pengembangan motif dan budaya yang terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan
sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity)
sejak 2 Oktober 2009. Batik Ponorogo, baik industri, budaya dan unsur
seninya, adalah sebuah manifestasi dari kebijaksanaan dan kejeniusan
budaya lokal yang sangat butuh untuk dilestarikan. Dengan segala
kebersahajaannya, batik Ponorogo tertatih, hampir tak tersentuh ditengah
hiruk pikuk dunia yang semakin tidak peduli. Butuh kemauan kuat dan
sinergi yang solid dari berbagai elemen masyarakat dan institusi
terkait, untuk bisa mengantarkan batik Ponorogo kembali ke masa
kejayaannya. (KRC-Sigid)
sama-sama sob,,seneng aja udah bsa share seni budaya Indonesia.
BalasHapusMantaaap...ternyata luar biasa sekali.....ponorogo memang memiliki potensi yang luar biasa...terima kasih tulisannya. Menarik sekali Dila punya foto sukarno meresmikan pabrik batik ini. adakah data foto lainnya, dan bisakah saya mendapatkan.
BalasHapus