Rabu, 25 Februari 2015

DIARY CINTA: YANG TAK SEMPAT, YANG TELAH BERAKHIR

YANG TAK SEMPAT, YANG TELAH BERAKHIR

     Senja ini dalam kesenduan mendalam. Di kala mega menyeringai dengan seram di hamparan sore. Air mata yang sudah kering ini pantas disyukuri. Untuk siapakah tangisan emosionalku tertuju? Apa kau sudah tahu?. Kalbu ini bergumam perih, ingin mengaduh dengan gaduh pada mentari sore yang hampir tenggelam di peraduan. Cakrawala senja ini menutup kisah pedih cinta yang tak sempat singgah dengan lama.
Dulu, pernah suatu kali harapan dan doa kita panjatkan bersama demi masa depan kita kelak. Kau pernah berkata di depan padang ilalang nan sejuk.
 “Sayang, maukah engkau beribadah denganku kelak jika kita sudah lulus kuliah?”.
    Aku hanya tersenyum simpul dengan kalimat yang terlalu berat untuk dicerna remaja. Dalam hatiku berkata, bukankah itu ajakan menikah?, oh..tunggu dulu, kalimat kelak jika kita sudah lulus berarti apa?. Nah, inilah ungkapan rasa cinta versi dirimu yang lembut hatinya. Mulutku kelu dan memang tak kujawab sekarang. Hanya senyuman dan anggukan malu saja. Dan berikut hujan yang membawa kita pulang ke kampung halaman. Hatiku bagai taman bunga, sejuk, mewangi, penuh kupu-kupu merona beterbangan di sela warna-warni bunga.
    Perjumpaan kita memang dimulai ketika bimbingan tes masuk kampus. Dan tak terduga kita memilih jurusan yang sama walaupun akhirnya menjadi tetangga kelas. Masa indah pendekatan beratas namakan persahabatan hingga hubungan tanpa status telah lama kita jalani dengan semangat, bahkan terhitung persahabatan itu lebih lama dari usia pacaran kita yang seumur jagung sudah kandas didera keegoisan. Masih kuingat wajahmu yang begitu berkharisma, dengan pandangan teduh dan tutur kata yang lemah lembut menandakan kau adalah laki-laki yang berakhlak mulia. Mulanya aku biasa saja, hanya say hello dan mengerjakan tugas bersama. Aku sudah tahu kalau prestasimu lebih baik dari aku, jadi tak salah jika simbiosis mutualisme ini senantiasa kita jaga. Kata temanku sih itu baik, cari kesempatan bagi otak pas-pasan kayak aku ini. Tapi bukan berarti aku remaja yang genit lho, dengan pakaian gamis ya bersikap sewajarnya saja.
     Walaupun hubungan ini terkadang dingin, hambar dan apalah lainnya, mungkin itu karena belum ada rasa cinta 100% antara kita. Rasa persahatan yang dulu masih tersisa, dan menjadi hubungan ini biasa saja. Terlebih lagi kamu yang tak romantis, berbanding terbalik dengan aku wanita yang agak dramatis. Cinta, akan kukejar sampai ke ujung dunia, mana pernah kalimat itu terlontarkan, kau tetap dengan sikap formal sayang. Sudahlah tak penting, mari lanjutkan kisah ini sampai bosan membacanya.
     Di perpustakaan tempat favoritku bertapa sekaligus membaca. Kita sering bercengkrama disini dengan mengobrol memakai bahasa isyarat. Status pacaran kita memang tak seheboh artis kampus, justru kita backstreet dari temen sekelas dan orangtua. Wah, mau jadi apa ini kalo hubungan diam-diam, tapi bagi kita menguntungkan bagi harga diri. Karna jika ketahuan teman sekelas bisa habis jadi bahan ejekan, dan aku sama sekali belum siap harkat martabat dalam menerimanya, sadis sekali kalau setiap teman tanya ini itu. No coment, thi is my privacy, begitu idealisme yang ku tanam dalam-dalam.
   Sepandainya menyimpan bangkai akhirnya tercium juga, aduh sadis amat peribahasanya pakai kata bangkai. Masalahnya kita tidak ingin pacaran ini diartikan yang seperti anak lain , yang berlebihan sampai skinship atau apalah itu. Kita biasa-biasa saja tapi mantap, harapanya begitu, tapi kedepannya, tunggu sampai kisah ini selesai. Aku bilang selesai karna kelak akan selesai, kalau berlanjut pasti singgah dulu di KUA untuk menghalalkan hubungan kita.
    Agak kaget sih ketika kita kepergok teman-teman sekelasmu ketika sedang jalan berdua di bookfair, otomatis kita yang jalan berdampingan sontak mengambil arah berseberangan sendiri dan berlagak amnesia. Tak ada komunikasi karna aku disapa temanku di sebelah barat dan kau disapa segerombol teman sekelas wanitamu dengan serentetan pertanyaan interogasi. Waduh maak, sinyal ketahuan ini pikirku, bisa heboh sejurusan ini, konsumsi publik biasanya juga rawan gosip dan fitnah.
     Malah sebelumnya, kita juga pernah waktu ke makan berdua berpapasan dengan sejoli kampus, dan yang wanita ternyata adalah temanmu. Otomatis pandangannya pasti ada apa-apa. Aku sih berusaha bersikap biasa saja. Begitulah trik menghilangkan jejak. Sepandai-pandainya kita menutupi rahasia hubungan ini, ternyata ketahuan dari mata kita yang suka melirik satu sama lain ketika ada kelas bersama. Sumpah kalau ada pergabungan kelas, hatiku deg-degan, bukan karna takut performaku jelek di hadapanmu, tapi pa akata dunia jika ini jika itu. Untung saja anyak berhasilnya kita bersikap biasa. Walau kadang temanmu suka senyum-senyum memandangku dengan nada menggoda, tanya ini itu. Wah, ketika keluar kelas, mak plong otakku sambil cengar-cengir tak jelas. Yah, itulah reseiko cinlok, kemana-mana bawa resiko ketahuan dan dipermalukan.
    Masa sulit perkuliahan selalu kulalui bersamamu, walau terkadang ada percekcokan, dan selalu kau yang mengalah menghadpi keegoisanku yang memang sudah bawaan orok. Cinta itu terkadang meningkatkan prestasi kalau punya pacar yang cerdas seperti kamu. Sejujurnya aku sendiri tulus dan menerima kamu apa adanya seperti lagu cinta picisan walau memang kadang suka ngutang lama pulangnya. Yah itulah kelemahanku, bukan berarti aku tak punya kelebihan di hadapanmu. Ketika aku hanya bisa memberi semngat dan nasehat, dan hanya itu yang aku bisa dalam menyelesaikan masalahmu.
    Mungkin sebagai wanita, aku lebih cerewet dalam hal komunikasi. Kamu pasti tahu kalau bakat seni bicara, sastra yang agak lebay ini butuh penyeimbang yang stabil. Ketika aku dengan bangga berpuisi ria di sms, apalah balasanmu, hanya iya saja. Memang laki-laki cuek itu sama sekali susah diajak romantis. Bahkan sifat posesifku yang introgatif penuh dengan intervensi tinggi di setiap aktifitasmu ini memang kadang membuatmu terganggu. Mungkin saja aku yang suka marah-marah dalam menginterogasimu sampai terbawa dalam tidurmu, membuat tidurmu tak tenang. Karna kau pernah jujur kalau aku ini memang keras kepala, kalau bicara kayak polisi yang suka menginterogasi, sering marah-marah kalau telat atau lupa. Pernah juga kau menggoda ”Biasanya wanita yang keras kepala kalau hamil, anaknya laki-laki lho”. Bisa saja kamu menyindir aku dengan kata yang sangat santun itu, gumamku. “kalau aku punya anak laki-laki emang kenapa?”, balasku. “Ya bagus, nanti juga suka marah-marah, mewarisi ibunya”, kamu menjawab dengan tertawa mengejek. Masalah kelamin anak tidak ada berdasarkan sifat keras kepala ataupun lemah lembut sayang, bahkan jika kamu bertanya kepada dokter sekalipun sayang, kataku dalam hati.
    Dan sifat lemah lembutmu sebagai laik-laki adalah kelebihan dimataku. Ketika semua masalah bisa diselesaikan dengan pikiran dingin dan hati yang tenang, maka itulah kamu. Pernah juga kamu kuajak mengunjungi adekku yang istimewa di luar kota. Apa yang terjadi sungguh di luar kebiasaan. Ketika adikku diindikasikan sulit berkomunikasi dengan orang baru, dan ajaibnya saat bertemu denganmu dia justru mau bersalaman dan duduk bersama walaupun hanya sebentar. Untungnya lagi, kita tidak diusir dan bisa duduk tenang. Pikirku jika kamu bisa berkomunikasi baik dnegan adekku dan dia bisa menerima kamu, pastilah kamu adalah masa depan yang cerah untukku. Karna kelak aku kan tinggal dengan adekku yang istimewa ini. Tidak seperti anak yang normal karna dia adalah istimewa, perlu kesabaran ekstra.
Cinta membawa kita pada pelajaran hidup yang berharga, ketika kita belajar bersama dengan asa yang selalu terucap setiap harinya. Aku malu dengan kemalasanku, aku malu dengan kebodohan yang kuciptakan sendiri karena apatis dengan mata kuliah. Karena sebenarnya aku malu dengan nilaimu yang terus menjulang tinggi, hingga berkali-kali mendapatkan beasiswa. Tak pernah kulupa setiap sepertiga malam kau cium sajadahmu dengan keihklasan mengharap ridho Alloh. Sebelumnya pasti kau sms mengingatkanku untuk bertahajud, namun yang ada justru guling yang semakin kupeluk erat dan bantal yang kucium. Masih berbeda sekali antara aku dan kamu dalam hal beribadah. Setiap kali kamu menanyakan kenapa akau sulit sekali dibangunkan untuk bertahajud rutin setiap malam, pasti aku berdiplomasi bahwa aku ini bukan di lingkungan pondok yang selalu disiplin seperti kamu, jadi maklumlah. Dan apa tanggapanmu? ”ya sudahlah, kelak kau akan sadar.”. Wah pikirku aku ini apakah pendosa besar, nasehatmu sengit sayang. Terkadang aku juga mengaku salah kalau lagi waras.
    Masa depanku masa depanmu, masa depan kita harus diperjuangkan sampai titik darah penghabisan. Setiap hari kita tidak lupa berdo’a agar dipermudahkan dalam belajar, kelak akan bekerja dengan baik dan menikahlah seperti harapan semula. Bahkan ketika kamu rela membatalkan janji pertemuan kita hanya karena belajar. Dan lama-lama belajar keras menjadi pacar barumu selain aku. Baiklah aku terima jika mungkin itu baik. Menjadi berkuranglah frekuensi pertemuan kita tak seperti awal-awal pacaran. Aku seperti telah skakmat dengan keputusan yang kamu ambil. Walaupun setiap hari kita kuliah dalam satu gedung, namun jarang sekali kita berbicara bahkan mengobrol satu sama lain. Tak masalah, toh kadang kita sering berkirim sms ketika sedang diajar. Cinta, semoga tetap terjaga di hati kita. Bak menjaga nyala lilin yang senatiasa diterpa badai masalah.
Hari demi hari berlalu dengan pasti. Umur kitapun semakin dewasa dengan tingkatan semester yang semakin meninggi. Sudah pasti kita lebih memahami makna hidup ini. Ketika aku dengan tegas mengambil keputusan untuk berpisah sesungguhnya sudah terpikirkan apa dampak dan resikonya. Cinta yang selalu kita gaungkan semakin hari semakin terkikis dan habis, justru menjadi beban jika diteruskan. Aku tetap dengan sifat keras kepala dan suka memaksa dan kamu dengan rasa tenang dan lemah lembutmu itu yang lama-lama membosankan. Di mataku kamu bukan laki-laki yang tegas, bagaimana masa depan kita nanti sayang?. Dan akhirnya ketakutanku pada dosa atas hubungan tanpa dalil agama yang jelas ini menuntunku untuk berikrar berpisah. Atas nama demi kebaikan bersama, maka hubungan cinta ini kuakhiri seperti halnya aku bersin, ringan tanpa beban dan penyesalan. Namun, sebenarnya yang membuatku berpisah ini adalah kesalahanku sendiri. Aku egois karena telah menjudge hubungan ini adalah biang kerok IPKku turun drastis, sungguh terlalu egois aku ini, tak manusiawi, tak punya hati. Ketika kamu berlapang dada menerimanya, maka kita berubah status menjadi sahabat baik seperti dulu.
Aku ingin berpisah dengan baik-baik, dengan ikhlas. Kelak jika kita memang jodoh kita akan bertemu di pelaminan sayang. Sehingga tidak ada dendam dan Semua barang kenangan sepanjang hubungan kita tetap aku simpan dengan baik, karena kita tetap  bersahabat baik. Baju batik sarimbit, kaos jogja, baju batik putih, fotomu dan lainnya biarlah menjadi kenangan di hari tua kelak. Cinta atas nama Alloh ini akan diridhoi jika kita berlaku dengan baik di mata Alloh.
    Akhirnya, hari kita lalui dengan ketenangan dalam belajar dan beribadah. Sering kita bersua ketika kelas bersama, bahkan tak ragu aku masih meminta bantuanmu dalam mengerjakan tugas yang super sulit. Dan kamu masih seperti yang dulu dengan pembawaan yang tenang dan sabar dalam berbagi ilmu. Terima kasih sahabatku, walaupun tidak ada hubungan istimewa diantara kita, sebenarnya hatiku masih berbaik kepadamu. Namun untuk sebuah rasa cemburu sama sekali sudah tidak ada.
Dan kini, semua berlalu, siang malam, susah senang, sepi dan ramai senantiasa bergantian. Ada yang tak sempat aku kabulkan selama kita bersama. Mungkin aku terlalu egois dan menang sendiri sehingga tak mempedulikan keinginanmu yang terpendam. Bahkan itu kuanggap konyol dan tidak penting sama sekali. Hingga kini, keinginanmu dan permintaanmu yang tak sempat terkabulkan itu menjadi buah pikiranku setiap waktu. Dan aku menganalisanya sembari tertawa, “yang tak sempat, yang mengesankan, tak mungkin ditagih , tak jua dibeli”.
    Pendekatan yang terlalu lama memang sangat indah dibanding realita pacaran. Dimana kita bersahabat hati, penuh canda tawa dan impian fatamorgana, karena semua cita-cita kita tak semuanya realita. Ketika itu aku pernah mengajakmu ke rumah kakak keponakan yang baru menikah dengan orang luar kota.
“Aku kepengen ke rumah mbak deh, sudah lama mbak tanya , kapan kamu kesini dek. Ah jadi gak enak ya,,aku janji mulu. Kalau kamu tak ajak kesana mau kan?” kataku sambil menghela nafas, masih sedikit malu soalnya masih masa pendekatan.
“Hmm,,, gak apa-apa. Ntar kalau libur, Sabtu atau Minggu kamu sms atau telpon aku kapan jadinya”jawabnya dengan pandangan menerawang jauh.
Aku tahu bahwa kamu adalah orang yang sangat ringan tangan memabantu orang lain, walau hanya sekedar tumpangan. Kejam sekali jika aku berpikir bahwa pacar atau kenalan dekat itu harus juga jadi ojek. Realitanya memang begitu dalam duniaku. Untungnya mereka senang-senang saja, mungkin juga itulah cara mereka dalam pendekatan.
     Dan yang terjadi adalah kita tidak pernah ke rumah mbak keponakan sama sekali, sampai sekarangpun. Aku yang ngajaknya malas juga mau kesana. Sudahlah terlupa rencana itu. Padahal kamu pernah tanya juga kapan jadi kesananya. Awalnya sih aku ingin memperkenalkan ke saudara bahwa kamu adalah calonku yang sholeh dan bertanggung jawab bagi masa depanku. Berlebihan sekali angan-anganku hingga tidak pernah kesampaian.
    Yang paling istimewa dari kamu  adalah susah marah bahkan jarang marah ketika menghadapi masalah. Banyak sekali hal kecil yang aku buat masalah besar. Sebenarnya aku sendiri berusaha menciptakan masalah sebagai warna-warni dan asam pedas dalam manisnya sebuah hubungan, enak sekali aku bilang seperti itu ya?. Suatu saat lebaran tiba, aku meminta kamu berkunjung ke rumah. Memang benar kata Raditya Dika, laki-laki itu labelnya pacar plus, dia bisa jadi ojek, pesuruh, pelayan. Nah yang ini adalah muncul sifatku yang suka menyuruh dan memaksa.
“Sayang, kamu jadi kesini kan?segera berangkat ya. Ini temanku sudah menunggu. Dia pengen kenalan sama kamu:, kataku dengan sedikit mendikte dengan nada halus.
“Iya, aku  berangkat kok, tapi di sini masih ada acara anak-anak Pondok. Agak telat gak apa-apa ya!” tukasnya.
“Ok, acaranya kan bisa dipercepat dan selesai kan?. Pokoknya kamu harus datang kesini, kalo gak, mending gak usah kesini lagi deh” jawabku dengan semprotan pedas, memaksa dengan ancaman yang ekstrem. Dan mungkin saja setiap perkataan adalah do’a.  Kebetulan perkataan yang satu ini benar-benar terjadi. Kamu ternyata tidak datang lagi di lebaran selanjutnya karena sudah berakhir hubungan yang terjalin sekian lama dengan harapan bersama selamanya.
    Sudah menjadi sifat manusia yang membangun angan-angan itu ke depan dengan do’a dan usaha. Namun janganlah lupa kalau Alloh yang berhak menentukan nasib manusia. Aku hanya bisa tersenyum memandang kenyataan ini. Dalam hatiku memang ada rasa bosan menajalin hubungan yang semakin hambar. Buat apa diteruskan? Kalau aku tidak bisa bebas dengan status pacar orang. Sehingga niat untuk bergaul dengan laki-laki lain tanpa ada rasa cemburu itu kumantapkan. Aku ingin melebarkan pertemananku dengan lawan jenis dengan rasa aman, tapi bukan berarti aku ini player yang suka bermain dan mencoba-coba dengan laki-laki. Aku hanya ingin bergaul saja berbagi pengalaman dan pelajaran tanpa ada rasa cemburu dari mu. Memang kadang rasa kebosanan diujung perpisahan ini semakin menggila. Bahkan aku terkadang muak melihatmu saja, malas dan ingin lari. Buruk sekali pemikiranku ini. Setelah putus kita tetap bersahabat itu benar. Tapi tidak kalau untuk kembali lagi.
    KKN membawa kita semakin jauh dan lama sekali tak melihat batang hidungmu. Aku tak paham dengan diriku sendiri, apa mauku dan apa tujuanku ini. Ketika aku melihat kharisma dirimu bak raja yang menyuguhkan kebijaksanaan dalam balutan jas kebesaran KKN. Ketika aku diterpa gosip dengan pemuda lokal yang mengejarku habis-habisan, aku sempat menceritakannya padamu. Seperti biasanya kamu tak pernah menanggapinya serius, hanya tertawa saja, tidak cemburu atau menginterogasiku lebih lanjut. Apa memang benar rasa cintamu sudah tak tersisa sedkitpun?. Dan hanyalah tinggal kebaikan itu karena rasa simpati kepada seorang sahabat?. Aku yang meninggalkanmu namun masih berharap kau mencintaikku. Hingga suatu ketika sebuah acara keagamaan digelar, dan kudengar kamu datang namun tidak mengikuti sampai selesai. Tiba-tiba tanpa ada angin, aku berkirim sms kepadamu mengajakjalan-jalan dan mencari es buah. Tak lupa kukatakan, aku kangen kamu, bisakah kita ketemu. Aku bilang ke temanku kalau aku keluar sebentar mencari es, haus sekali karena udara yang panas. Dan kulihat kamu telah menunggu di seberang jalan dengan penampilan yang membuatku terpana. Hatiku bergetar kembali seperti saat kita pertama berjumpa. Apakah ini mengindikasikan akan adanya pendekatan yang berlanjut CLBK. Pikiranku bermacam-macam dalam perjalanan. Dan yang pasti aku merasa tenang dan aman dalam kondisi kita saat itu. Aku sadar, rayuanku tadi sebenarnya tidak serius sekali, namun bisa mempertemukan kita dalam suatu kesempatan langka. Tuhan, apakah taman hati in akan ditumbuhi kembali bunga-bunga cinta?. Dan asam manis kisah cintaku terus berlanjut.
    Namun, terakhir aku mengetahui bahwa kamu menjalin cinta singkat dengan teman sekelasku yang cantik dan berbaju longgar. Dia lumayan beutiful dengan kulit putih dan wajah manis, ramah namun juga menggoda kata teman laki-laki di  kelas. Di kala itu aku juga sedang dekat dengan kenalanku yang lain. Karena setelah putusnya kita, aku merasa statusku bebas bergaul dengan siapapun. Namun, aku pernah memperingatkanmu, jangan ada hubungan khusus dengan sahabatku yang itu. Peringatanku sama sekali tak kau hiraukan. Dan akhirnya kita berjalan diatas jalan kita masing-masing.
    Bisa dibilang stelah berakhirnya hubungan kita, pada dasarnya aku ingin selalu tahu apa kabarmu. Dalam masa single, kita sering keluar bersama. Karna kutahu kau telah mengakhiri hubungan cintamu dengan sahabatku, maka kucoba mencarimu dalam relung hati terdalam. Pelabuhan yang dulu pernah disinggahi kapal cintaku tak bisa kulupakan walaupun bukan milikku lagi. Aku masih senang singgah ke dermaganya. Hingga kisah ini hampir berakhir, kita sempat mencoba pendekatan lagi. Rasa cinta itu mulai tumbuh setetes dalam sehari. Aku berharap lagi bahwa kau adalah masa depanku kelak, walaupun ada laki-laki lain yang menarik. Namun tetap kuarahkan tujuan navigasi ini ke arahmu.
   Dan ulang tahunku yang ke 24 benar-benar indah karena hadirmu kembali dalam suatu dinner 4 mata. Sayang, kau tetaplah formal seperti dulu, sedikit rileks dan berasa muda sedikit kenapa? Kataku dalam hati. Wajah yang lama itu mengukir bingkai hati ini seindah pelangi. Harapan ini semakin kuat, bak burung yang terbang bebas menerbangkan asa ke langit luas.    Kita terhanyut dalam obrolan santai dengan gaya masing-masing. Aku yang berlogat anak muda banget dan kamu yang formal.   Dan pertemuan itu akan ada lagi, entah untuk sekali atau selanjutnya.
    Aku tetap seperti yang dulu yang banyak bicara dan sangat perhatian kepadamu. Komunikasi kita terjalin dengan baik via sms dan facebook. Terkadang masih ada rasa ragu pada harapanku padamu. Kita bertemu namun tidak ada pernyataan cinta, dan hanya harapanku. Aku bahkan tak tahu hitam putih hatimu. Apakah hanya karena dasar persahabatan ataukah kamu merasa rasa cinta lagi?. Seiring aktifitas kita yang terlalu padat dan aku kembali ke dunia pendidikan. Harapan itu hanya tinggal nama saja, bahkan terkikis dan hilang. Kamu pernah berkata kalau ingin meniti karir dan mencari modal membangun rumah tangga, entah itu dengan aku ataupun bukan. Sehingga dalam suatu waktu, aku pernah berjumpa dengan seseorang lain yang terlihat lebih berisi daripada kamu. Dia berpendidikan lebih tinggi dengan fisik yang menawan. Kami bersahabat baik dalam suatu instansi yang sama. Bahkan kepala sekolah menyarankanku membangun rumah tangga dengan dia yang sholeh. Bukankah umurku ini terus bertambah  dan menua. Rasa malu dan segan ini muncul dan menahanku menerima perjodohan ini, bahkan entah lidahku yang tak sadar beralasan bahwa ada seseorang yang sholeh yang kutunggu. Kepala sekolahpun mempersilahkanku beristikharah. Dan dari setiap istihharah cinta ini hanya kamu yang muncul, bukan dia. Apa pengertian ini semua Ya Tuhan?. Akan kucari jawabannya nanti.
   Ramadhan kemarin sempat kau sms aku mengajak buka bersama di luar. Tentu aku sangat bahagia berjumpa kembali denganmu dalam suatu bulan suci penuh barokah. Semoga saja kita diberkahi jalan masa depan yang indah, begitu harapanku. Dalam obrolan kita, adzan berbunyi pertanda puasa mulai dibuka dengan makanan. Dan kau tetap seperti yang dulu sayang. Mengambil air wudhu dan segera menunaikan sholat Maghrib, tidak berbuka dahulu. Dan itu yang aku sukai sejak dulu, akhirat yang kau dahulukan daripada kenikmatan dunia. Kau yang bersahaja yang aku cintai. Walaupun begitu, kau yang selalu berkantong tebal dengan hasil jerih payah sendiri. Andai saja di masa depan kita bisa hidup sederhana asal cukup, aku rela sayang, kataku dalam hati.
“bulan depan aku harus ke luar kota” aku membuka percakapan.
“kerja disana? baguslah” katamu sembari menyantap makanan.
“aku stay disana....jadi anak.... angkat Om dan Tante mas” tuturku dengan terbata-bata.
   Pandanganmu menjadi berbeda dan terlihat shock mendengar penuturanku. Akankah kau merasa kehilanganku? ataukah justru senang?. Kupandangi sosokmu yang semakin menghilang di tikungan. Jika memang Sang Rabbi menghendaki kita berjodoh, tentulah akan bertemu lagi dalam suatu masa yang indah.
Takbir bergema, bulan Syawal telah tiba. Umat Islam menyambutnya dengan suka cita. Dalam permintaan maaf dan silaturahmi dari desa ke kota begitu juga sebaliknya. Dalam setiap persinggahan di rumah teman atau saudara, pasti yang ditanya kapan married?. Pertanyaan yang sangat menyiksa, tiada jawaban lain selain kata amin. Yah begitulah orang-orang yang sangat peduli kepadaku. Seharusnya aku berterima kasih, bukan malah menggerutu dikira gadi tak laku.
   Senangnya rasa hati ketika kuterima smsmu yang berisi ucapan selamat Idul Fitri. Kubalas juga dengan ucapan Idul Fitri versi beda. Selanjutnya, kau mengirim sms yang berisi ajakan ke pantai di hari ketujuh lebaran. Apakah alamat ini Ya Rabbi?. Akankah aku serius menanggapinya? bisa jadi ini hanya sebuah refreshing saja.
   Dan akhirnya hari yang ditunggu tiba. Dari bermalam-semalam aku hanya memimpikanmu saja. Ya Rabbi,  tunjukkanlah jalan yang pasti dari sebuah ikhtiar ini. Kita berangkat dengan obrolan biasa saja. Di sela dinginnya hawa pegunungan menusuk kulit, aku selalu mnggerutu kedinginan. Begini seperti dulu lagi rasanya, ketika kita pernah berkunjung ke air terjun dekat rumahmu. Sejuk, tenang, damai di alam bebas. Dan lagi-lagi kau tak pernah berubah dari sifat formal sedkit cuek yang membuatku sedikit bosan. Ya Rabbi Yang membolak-balikkan hati, apakah dosa jikalau rasaku yang tak tulus kadang bosan, kadang rindu ini?. Tamak sekali aku sebagai wanita biasa. Dengan mudah menikmati apa yang kumau, dan jika aku sudah bosan maka akan menjauh. Namun tetap cemburu jika kau berdekatan dengan wanita lain. Sementara aku bebas bergaul dengan laki-laki manapun.
    Jikalau engkau tahu aku pernah dekat dengan dengan laki-laki yang juga teman kita satu OSPEK dulu, aku tak tahu apa yang akan terjadi. Dia sahabatku di kelas yang sangat dekat. Selama pendekatan kita, aku juga sangat dekat dengannya, sebagai teman yang baik, bukan teman hati. Dikala aku resah, dia selalu ada menghiburku. Dikala aku ingin mencari angin segar di kota, dia yang menemaniku. Dan dikala aku sakit dalam perjalanan study tour, dia yang merelakan pundaknya untukku bersandar dan memejamkan mata dari ketakutan jalanan  yang berlenggok tikungan. Bukan maksud hati menduakanmu atau membagi cinta dan perhatianku. Inilah hidupku sebagai wanita yang bebas dari segala kekangan dalam berpacaran, walaupun terkadang aku posesif. Suatu kali aku pernah jujur kepadamu bahwa dia temanku yang juga temanmu itu sering memanggilku sayang, dan apa reaksimu?. Hanya diam saja. Aku bukan dukun yang bisa membaca isi hatimu. Pantasnya akau marah padaku! Kau menasehatiku atau bahkan memutuskan hubungan kita?. Kesabaranmu sungguh luar biasa. Kau hanya bilang “kita sudah dewasa, pasti tahu batasan”. Hanya itu saja.
Dan aku tetap menjalin persahabatan yang baik dengan dia yang sangat dekat denganku. Kata teman-teman sekelas, dia menjadi rajin kuliah karenaku. Yah aku sih bukan malaikat, hanya bermodal mengajaknya menuju kebaikan dengan semangat. Aku menjadi semakin sayang dengan dia, hanya sebagai sahabat, karena cintaku cukup padamu saja. Paling tidak, ada seseorang oknum di kelasku yang sudah melaporkan kedekatanku dengan dia kepadamu tanpa sepengetahuanku. Aku yakin kamu sebenarnya tahu apa yang aku mau, sebuah kebebasan dalam bergaul dengan siapapun. Karena status kita pacaran, aku terkadang diam-diam berkenalan dengan laki-laki sekampus. Hingga cerita ini kuungkap, kita belum pernah menyelesaikan pergolakan batin ini.
    Mungkinkah bisa dikatakan suatu karma, ketika aku sangat dekat dengan dia dibelakangmu dan akhirnya setelah kau putus, kau justru ada hubungan khusus dengan teman sekelasku. Anehnya, aku merasa sakita hati hingga menangis sehari semalam setelah mendengar hubunganmu dengan teman sekelasku. Aku hanya berkata dalam hati, biarlah dia dengan teman sekelasku yang cantik itu, tunggu saja, bisa berapa lama kamu akan bertahan dengannya. Sifat egoisku ini memang sangat buruk dampaknya bagi kehidupan. Tapi bukan berarti aku terus mendamprat habis-habisan pacarmu. Rasa cemburu pasti ada, dan aku tidak mengerti mengapa bisa seperti ini.
    Sekian lama kita menjalin cinta, tak pernah sekalipun selfie berdua. Masih kuingat hanya  sekali kita bertukar foto 4 x 6 sisa untuk KTM. Dan sekali kupotret dirimu dengan hp jadulku ketika sedang berlibur ke danau. Cukup sosokmu yang tergambar jelas di hati, tersimpan lekat di fikiran. Jika foto dari kertas maupun digital bisa hilang dan terhapus, namun di fikiran sosokmu tetap terbingkai indah atas nama cinta suci. Ketika sedang duduk di pinggir pantai, menikmati deru ombak berirama dan angin yang membelai sejuk tubuh dan wajah, kamu sempat meminta kita foto berdua. Namun aku hanya menggapnya bercanda.
“ayo foto  bareng?” katamu sembari menyalakan kamera smartphone.
“ahh, gak mau ah” elakku dengan sok malu-malu kucing.
“kenapa sih? wong sebentar aja” kamu berusaha membujukku.
“ntar aja kalau sudah waktunya” kataku sambil menatap indahnya gelombang laut diterpa angin. Begitu tenang dalam dekapan alam.
   Aku tahu bahwa mengabaikan ajakannya seakan tak mengakuinya sebagai lelaki yang butuh sensasi memori dalam sebuah foto berdua. Mungkin saja kamu akan menyematkan foto kita bersama sebagai obat rindu disaat jarak memisahkan kita. Bodohnya aku yang berharap cinta kembali bersemi di taman hati, justru mengabaikan signal cinta yang memanggil. Bagai menulis puisi di permukaan pasir pantai yang disapu angin dan ombak. Dan selesailah sudah harapan itu. Sehingga tak sekalipun seumur hidup kita bersanding bersama dalam bingkai digital, hanya menjadi awan terukir indah di langit biru dalam bayangan saja. Yang tak pernah dan mungkin tidak akan pernah terjadi lagi dalam kisah cinta kita. Yang tak sempat dan terlupa sepanjang masa.
    Buah pengharapan terus menggantung di pelupuk mata hati. Apakah harapan kita di setiap sujud tengah malam itu sama? Apakah kita akan menjalani masa depan dengan tangan yang tergenggam dan mata yang terpejam?. Dalam renungan di atas sajadah yang kucium mesra penuh gairah, menghambur tangisku memcah kesunyian malam. Dalam istikharah cinta ini aku hanya memohon dengan sangat, Sang Rabi Yang Maha Kuasa akankah menjadikan aku tulang rusukmu yang hilang satu.  Dan roda kehidupan ini terus berputar seiring jarum waktu, akupun tak tahu secerah apa masa depan kita.
Dan masih ada yang tak sempat terlaksana. Dan sekalipun tak akan terjadi. Karena persinggahan itu terkadang tak pasti disana tempat tujuan yang kita rencanakan semula. Pernah kamu mengajakku mengunjungi kota seni dan budaya yang akan menyuguhkan citarasa karya agung manusia. Kapan ya kita akan berkunjung ke kota pendidikan, yang mana hanya terhampar banyak orang rajin belajar  bukan karena asalnya pintar?. Gelak tawa kecil menggigil di relung hati ketika kau ajukan permintaan itu.
“ayo kita ke Jogja saja!” pintamu dengan nada lembut.
“hmmm...apa gak kejauhan?” tanyaku agak keberatan dengan permintaanmu yang ini.
“naik motor ya kira-kira 5 jam dari sini” jawabmu dengan nada santai berasa di pantai.
“apaaaah??” aku terkejut sembari membayangkan kondisi jalanan yang ramai, betapa pusingnya.
“kenapa? Ya kalo gak memungkinkan ke tempat lain saja yang lebih dekat” tuturmu meringankan bebanku yang sudah banyak memikirkan saja sebelum positif berangkat.
    Selalu saja aku yang menjadi pemenang dalam menentukan setiap perencanaan. Entah mengapa, aku yang sering meminta, sering memaksa, sering menolak jika tidak setuju sekalipun itu baik. Tak kusangka semua hal yang kuabaikan membuat kamu jenuh, bosan dan berniat untuk mennghilang, bukan sehari- dua hari, sebulan dan selamanya. Sehingga akan menutup cerita hitam putih, pahit manis cinta kita. Burung merpati yang pulang masih bisa pulang, namun aku takkan melarangmu pergi, karena aku tidak berhak atas kuasa dirimu. Dan benar sekali, kita tidak akan ke Jogja bersama. Cukup di pantai selatan pertemuan kita yang terakhir, selanjutnya kau hilang ditelan bumi.
    Selepas menikmati keindahan pantai bersama, kita berniat pulang menyusuri jalan dengan berboncengan. Semua kembali seperti dulu lagi, manis dan hanagt menyatu dalam pelukan. itulah keegoisanku sedari dulu, aku takkan rela kau peluk dari belakang, karena takut muncul percikan api syahwat. Namun aku sanggup memeluk hangat tubuhmu dengan cinta yang suci, dalam ketentraman kalbu. Jauh dari pikiran kotor bisikan iblis yang menggoda remaja semacam kita. Sering sekali akau yang mengendalikan hubungan ini, karena aku merasa mampu menjadikannya bersih, dan tidak akan bisa terkotori oleh hal-hal di luar batas kewajaran. Dan memang benar kata orangtua kalau laki-laki sudah diciptakan seperti itu maka ia harus menjaga pandangannya. Aku pun selalu berkonsentrasi terhadap hal-hal yang penting daripada sekedar memikirkan bara nafsu duniawi.
   Dan masih seperti pertama kali berboncengan berdua, tanganku yang menggigil kau ikatkan pada pinggangmu agar bisa kau tancap gas tanpa takut aku akan jatuh. Ada isyarat apa ini semua?aku yang selalu menghindar saat kau raih tangan ini. Karena rasaku ini kucoba kusucikan dengan benar. Sejujurnya aku tak ingin seperti pasangan lain yang suka mengumbar kemesraan di sepanjang jalan. Karena aku takut sekali Tuhan akan marah pada kita, lantas kemana lagi kita akan mengharap  ridhooNya?. Sebejatnya aku, paling tidak masih mempunyai fikiran yang sederhana namun pasti. Seorang suami sholeh itu akan pasti membawa kita ke syurga, namun pacar belum tentu bisa jika imannya bisa goyah.. Jadi alasanku tak menuruti apa permintaanmu yang tak sempat terlaksana adalah karena kita harus menunggu waktu yang tepat, jikalau ada kesempatan yang terbaik. Kalau tidak ada kesempatan itu, maka tidak akan menjadi suatu penyesalan atau rasa kehilangan. Kitapun masih menjadi diri sendiri yang utuh.
    Dua minggu setelah dari pantai, aku berpamitan berangkat ke luar kota. Entah aku merasa kehilangan ataukah justru senang tak ada yang menganggumu lagi, aku tak bisa membaca isi hatimu. Masih senantiasa kubawa sepenggal puisi cinta untukmu, kelak jika kita berjodoh. Walaupun jarak kita tak sedekat dulu, namun harapan itu masih kusimpan erat di relung hati dalam setiap istikharah malamku. Jika memang kau adalah masa depanku, maka tidak mustahil kita akan bersua di KUA. Jika aku atau kau dulu yang menemukan sepenggal hati yang lain, maka berlapanglah dada. Begitu yang kuungkapkan dalam pamitku.
   Sebulan sudah aku terakhir bertemu denganmu. Disini aku dengan lingkungan baru yang banyak berbeda dengan kampung halaman, sehingga harus beradaptasi lagi dengan maksimal. Masih kamu yang menjadi tujuanku walaupun ada satu dua laki-laki yang dekat denganku. Maklumlah aku kan statusnya masih sendiri secara resmi. Bintang di langit malam itu bagai permata kecil yang dekat, namun tak mudah memetiknya seketika. Begitulah kau apa adanya. Disini kau terlihat indah, sangat kurindukan jika pulang ke kampung halaman. Namun tak semudah itu aku membuat janji bertemu denganmu. Jika pantai adalah tempat terakhir cinta kita masih terukir. Maka permintaanku terakhir adalah bertemu denganmu, menyegarkan diri dan menghilangkan kebosanan hidup di kota. Aku mengirim sms bertemu di malam sabtu. Pikirku sekalian bermalam Minggu di alun-alun kota. Karena aku tak sabar maka kuajukan hari Jumat saja. Senangnya hati kau menyanggupinya. Aku berharap kau tak kaget kalau aku bertambah gemuk sekarang. Kemudian aku berangkat ke kotaku dengan rasa harap-harap cemas, tak sabar ingin berjumpa denganmu. Pasti kita akan menyusun masa depan jika sekali lagi bertemu, karena umur kita juga tak lagi muda.
    Langit sore kota yang masih cerah tak seperti biasanya. Bumi yang kupijaki adalah kampung halamanku tempatku lahir dan menghabiskan masa muda. Aku kembali sebentar untuk menengok kekasih hatiku, barangkali dia masih ada cinta di hati. Satu yang tak pernah kulupa yaitu bertepatan setelah hari ualang tahunmu aku ingin memberi kejutan hadiah spesial. Telah kusiapkan dompet coklat yang seminggu telah kuorder dari katalog fashion. Dan ternyata, belum sempat kubungkus rapi dan kutulisi “Kerja yang rajin supaya bisa menabung demi masa depan kita” diatas secarik kertas merah, kuterima sms darimu yang menyebutkan bahwa kau tidak bisa bertemu. Ketika kubalas kapan kita bisa bertemu, tak ada jawaban pasti. Selesailah sudah rencana itu sehingga aku pulang membawa muka masam kekecewaan. Sekali ini permintaanku tak kau kabulkan. Dan kado yang kugenggam erat-erat ini hanya bisa kupandangi sendu. Sudah tak ada artinya lagi harapan ini. Tak biasanya kau membatalkan janji dengan jawaban yang tidak jelas. Baiklah tak mengapa, aku masih punya banyak teman laki-laki yang kutemui di kotaku.
    Yang tak sempat dan tak pernah terjadi. Memang begitu jalanya mau apa lagi?. Cinta dan harapan sekian lama, sepanjang 4 tahun yang kadang gugur dan bersemi memang bukan milik kita seutuhnya. Aku sudah kecewa dan tidak akan menghubungimu lagi sebelum kamu yang mengawalinya. Dan sampai sekian lama tak jua ada sms atau panggilan darimu. Aku memilih dekat dengan laki-laki lain yang memberiku kenyamanan dan kepastian walau kadang aku masih sangat rindu dan mengharapkanmu dalam diam. Cerita cinta kita kuanggap dongeng Cinderella yang akan berakhir bahagia. Tetap saja, dalam penantian ini kau tak akan lupa dalam istikharah malamku. 
    Aku telah mengungkapkan sebelumnya bahwa cerita cinta ini akan berakhir. Karena aku bukan Tuhan yang bisa menjadikan sesuatu yang dikehendaki, maka aku dengan bijak menerima apapun nasib kita. Kau tak datang sekian lama dan aku juga masih memendam kecewa yang teramat dalam karna ketidaktegasanmu sebagai laki-laki.  Berkali-kali aku patah hati takkan membuatku jatuh dan terpuruk lama dalam masalah cinta. Jadi aku yakin pernyataan bahwa terkadang cinta itu kejam, tapi tetap Tuhan itu Maha Adil. Jika dari sekian masalah ini menjauhkan kita bahkan selamanyapun, pasti ada tujuan baik Sang Rabbi.
    Akhir dari suatu kisah cinta hanya ada dua, sedih atau bahagia. Jikalau embun rela singgah ddi daun yang hijau, menggantung , mungkin saja bisa terjatuh karena alam yang mengatur. Maka, aku harus sebijak sang embun juga. Merelakan kau pergi tanpa pamit, dan aku yang terjauhi lama sekali harus menerima kenyataan pahit ini. Awalnya aku tak percaya dengan keputusanmu. Walaupun kau tak mengabari, karena kuasa Illahi Rabbi aku telanjur mengetahui bahwa kau sudah bersanding dengan perempuan sholehah pelabuhan terakhir hatimu. Seketika aku megucek-ucek mata tak percaya. Apa aku lupa tak pakai kacamata ketika membaca berita bahagiamu itu. Bahkan temanku juga mengabarinya langsung di facebook kebenaran berita itu. Mungkin teman-teman kita tak percaya akhirnya kamu berlabuh dengan dia yang menjadi pilihan hatimu. Cinta kita yang lama sudah tak berarti apa-apa. Seperti debu yang tersambar angin, lewat sebenta dan perlu ke comberan, menjadi spam. Teman wanitaku yang juga teman dekatmu mengira bahwa wanita yang ada di foto itu adalah aku. Padahal aku tak sekalipun pernah berrfoto berdua denganmu. Itu bukan aku, dan tidak akan aku yang disana. Kenyataannya kau telah haram bagiku selamanya. Impian dan janji kita di masa depan bukan milikku. Itu adalah doamu dan istrimu. Walaupun tak bisa kutahan airmata ini jika mengingat perjalanan cinta kita, sudah kucoba menerima semuanya dengan lapang dada. Dia dan aku sama, wanita. Namun dia yang terbaik bagimu dan keluargamu kelak. Aku tak merasa tersaingi mengetahui bahwa kau telah menikah lebih cepat. Hanya, aku tak bisa membayangkan jika bertemu denganmu kelak.
    Semua hanya tinggal cerita saja. Kenangan yang kita ukir bersama dalam sebuah perjalanan remaja, kau yang telah mengakhirinya. Aku terima jika memang tak bisa bersama. Terima kasih cinta yang telah mengajarkan arti kasih sayang dan persahabatan. Liku-liku maya cinta remaja ini biarlah menjadi buah memori di hari tua. Sudah kering airmataku, tak boleh lagi ada rasa penyesalan ataupun ketidakrelaan. Semua yang terjadi sudah semestinya terlaksana pada saatnya. Walaupun aku sekarang sendiri, bukan berarti aku berhenti berharap. Selalu doa dan usahaku mengalir di setiap harinya. Ah, siapalah aku ini? hanya manusia biasa yang tak luput dari dosa. Dan yang tak sempat, seharusnya ku meminta maaf padamu atas segala kesalahan sedari awal sampai perpisahan. Aku bahagia dan pernah bahagia denganmu.
   Lama sekali kita menjalin persahabatan, tolong menolong dalam belajar dan hal apapun. Aku yang selalu menyusahkanmu sampai tak lelap tidurmu. Sebenarnya kau sudah menjadi laki-laki yang terbaik dan memang kau selalu baik sedari awal hingga akhir. Walaupun banyak penolakan dan pemaksaan dariku yang meras alebih kuasa atau apalah itu. Aku hanya bisa meminta maaf dan berusaha senang melihat kau telah bahagia menjalani masa hidup berkeluarga dengan istrimu sekarang. Terima kasih atas semuanya, jika tak bisa kubalas jasamu semuanya. Walaupun kau yang tak bisa singgah disini, namun kau takkan pernah terlupa. Walaupun tak bisa kutatap lagi wajahmu nan teduh itu, semoga Illahi Rabbi akan menganugerahkan laki-laki sholeh sepertimu yang tak lekang oleh waktu. Yang bisa membawa keluarganya menuju Jannatul Firdausy diatas sana. Dan akhirnya cinta bukan sesuatu yang bisa digenggam, karena cinta adalah angin berhembus kesana kemari begitu menyejukkan dan akan berlabuh sesuai izin Tuhannya. Cinta itu bak lilin di hati kita, yang haru selalu kita jaga nyala cahayanya agar selalu menerangi kalbu atas izin Illahi Rabbi.