ADHD itu apa?
Anak dengan ADHD (Attention Defisit Hiperactive Disorder)
atau GPPH (Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas)
membutuhkan banyak perhatian orang tua. Selain terapi medikasi,
diperlukan terapi lain yang menyeluruh. Tak perlu menyalahkan, namun
juga jangan menganakemaskan atau menganaktirikannya.
Secara kasat mata Kiki (4) sama seperti anak normal lainnya. Tapi
orang-orang yang mengenalnya atau sering berhubungan dengannya akan
merasakan betapa sulitnya berurusan dengan anak ini. Kiki terkenal
sering menjahili teman-teman sebayanya, mengganggu mereka belajar, lari
kesana kemari, atau bertengkar. Namun Dewi (32), ibu Kiki tidak merasa
khawatir akan anaknya. Ia menganggap keaktifan Kiki masih terbilang
wajar.
Dewi berkeyakinan, di usia tersebut anak-anak memang sedang aktif mengeksplorasi apa yang ada
di sekitarnya, dan selalu ingin mencoba banyak hal, selama Kiki mau
mendengarkan larangan, perintah, dan nasihat dari orang tuanya,
gurunya, dan orang lain yang patut di hormati, Dewi tak perlu
mengkhawatirkan perilaku anaknya.
Tetapi
bagaimana bila anak tersebut ternyata sangat sulit diatur. Larangan
dan perintah orang tua dan guru, hanya ampuh beberapa menit bahkan
detik saja. Selebihnya, ia tidak mau bekerja sama, tidak mau diam, dan berbagai bentuk kebandelan lain yang sudah mengancam “stabilitas” kelas, rumah, atau bahkan tempat umum?
Psikiater
Anak, Dr. Tjhin Wiguna, SpKJ (K), dari Divisi Psikiater Anak dan
Remaja Departemen Psikiatri FKUI/RSCM mengatakan,banyak orang tua tidak
merasa khawatir bila anaknya yang masih berusia balita terkesan sangat
aktif. Meski kadang melelahkan dan menimbulkan kekesalan, tapi memang
begitulah ulah balita yang sehat. Mereka sedang giat-giatnya
mengeksplorasi lingkungan sekitarnya. Menyentuh, memegang, mencium,
bahkan memakan apapun yang menarik perhatiannya, adalah bagian dari
proses yang perlu ia jalani dalam siklus kehidupannya.
Tapi bila aktivitas tersebut sudah di luar batas kewajaran, dan tak dapat terkontrol, perlu di waspadai apakah anak itu menderita Attention Defisit Hiperactive Disorder (ADHD) atau Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH). Anak dengan kecenderungan beraktivitas berlebihan (hiperaktif) dan sulit berkonsentrasi itu, biasanya mulai terlihat pada usia 2 tahun.
Meskipun kecenderungan itu sudah dapat terdeteksi lebih dini, namun banyak orang tua yang masih menganggap wajar tingkah polah anaknya yang bagi orang lain mungkin terlihat tidak wajar.
Meskipun kecenderungan itu sudah dapat terdeteksi lebih dini, namun banyak orang tua yang masih menganggap wajar tingkah polah anaknya yang bagi orang lain mungkin terlihat tidak wajar.
ADHD
atau GPPH adalah gangguan neurobehavioural atau gangguan fisik di
otak. “Jadi bukan diakibatkan salah asuhan,” seru Tjhin.
Manifestasinya, anak dengan GPPH ini tidak mampu berkonsentrasi dan sangat impulsive atau sering bergerak secara tiba-tiba.
Secara
umum ciri yang bisa dilihat pada penderita ADHD/GPPH adalah sulit
berkonsentrasi pada suatu aktivitas, dan cenderung terus bergerak. Ia
selalu pindah dari satu kegiatan ke kegiatan lain, dan tak dapat
menyelesaikan satu pekerjaan, yang paling sederhana sekali pun, secara
tuntas.
Secara umum ada tiga gejala GPPH yang cukup mencolok. Pertama,
gangguan pemusatan perhatian (inattention) dengan ciri kurang dapat
memusatkan perhatian. Sehingga sering melakukan kesalahan akibat
kecerobohan, sulit menerima pelajaran, dan perhatiannya mulai
teralihkan.
Kedua adalah hiperaktivitas.
Beberapa ciri hiperaktivitas adalah sukar duduk diam, selalu
tergesa-gesa, sering menggerak-gerakkan kaki dan tangannya, sulit
bermain dengan tenang, serta berlebihan berbicara. Terakhir adalah impulsivitas (mudah terangsang).
Cirinya adalah sulit untuk menunggu giliran, menjawab pertanyaan
sebelum pertanyaan selesai diajukan, sering mengganggu teman, dan
sering menginterupsi pembicaraan orang lain.
Sedangkan
berdasarkan gejala utamanya GPPH di bagi menjadi tipe dominan
hiperaktivitas atau impulsivitas, tipe dominan kurang perhatian, dan
tipe campuran antara kedua tipe. Terapi GPPH dapat di lakukan dengan
beberapa cara, yaitu terapi farmakologi atau medikasi untuk mengontrol
zat-zat yang ada di dalam otak, terapi perilaku, edukasi penderita dan
keluarga, serta terapi kombinasi.
Sel Otak yang terganggu
Meskipun
belum ada angka resmi mengenai penelitian terhadap anak dengan GPPH,
namun di dunia angka penderitaannya berkisar 3-10 persen dari populasi
anak. Sedangkan penelitian Indonesia tahun 2002 pada sejumlah sekolah
dasar di Jakarta pusat, menghasilkan besaran bahwa dari dari 100 anak
SD terdapat 4 anak yang kemungkinannya menderita GPPH. Berbicara
mengenai penyebab GPPH, meski sudah banyak dilakukan penelitian bahkan
sejak bertahun-tahun lalu, namun tidak ada penelitian yang menyebutkan
dengan pasti faktor penyebab seseorang bisa menderita GPPH.
Tetapi
Tjhin memastikan bahwa faktor genetik berperan besar pada GPPH.
Ibu-ibu hamil yang mengkonsumsi obat-obatan terlarang, rokok, dan
alkohol juga bisa menjadi faktor penyebab GPPH yang di derita anak yang
di lahirkannya kelak. “Selain itu pada ibu hamil yang mengalami
kesulitan pada saat persalinan dan lahir prematur pun bisa menjadi
salah satu faktor penyebab, sehinggan faktornya bukan hanya satu tetapi
banyak faktor,” ungkap Tjhin.
Penderita
GPPH sering mengalami masalah pada fungsi eksekutifnya, yakni
kemampuan merancang, mempertimbangkan, dan melaksanakan suatu tindakan.
Hal ini karena terjadi kelainan pada struktur dari otak bagian
terdepan penderita. Karena itu, bila anak dengan GPPH memiliki prestasi
akademik yang rendah, sebenarnya hal itu bukan karena perkembangan
kognisinya yang bermasalah. Rendahnya prestasi akademik lebih
disebabkan oleh ketidakmampuan mereka untuk berkonsentrasi dalam
mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas.
Mengutip
pakar psikiater dari Amerika Serikat, Russel Barkley, Tjhin
menambahkan, kesulitan konsentrasi pada penderitaa GPPH karena adanya
gangguan fungsi pada sel otak yang dipengaruhi oleh hormon dopamine yang
berfungsi sebagai neurotransmiter. Anak
dengan GPPH mengalami gangguan transportasi antara dopamine transporter
dan dopamine reseptor dalam penerimaan dopamine di sel otaknya.
“Otak
terdiri dari banyak sel dan jaringan. Nah, pada anak dengan GPPH ini
pompa yang mengatur keseimbangan pengeluaran dan penarikan kembali
dopamine tersebut tidak terdistribusi dengan baik. Karena terjadi
gangguan inilah emosi si anak menjadi tidak terkontrol,” tutur Tjhin.
Penanganan
Menurut
Tjhin, anak dengan GPPH ini bisa diobati. Namun karena penyebabnya
sendiri belum terungkap dengan pasti, maka banyak metode terapi yang
dilakukan untuk mengatasi GPPH. Salah satunya adalah terapi medikasi
atau farmakologi. Terapi ini dilakukan dengan menggunakan obat-obatan
sebagai kontrol terhadap kemungkinan timbulnya hiperaktivitas impulsive
yang tidak terkendali.
Karena
sudah jelas bahwa anak dengan GPPH mengalami gangguan pada
dopamine-nya, Tjhin mengatakan jenis obat yang biasanya digunakan bagi
anak dengan GPPH adalah methylphenidate. “ Methylphenidate ini dapat
menyebabkan perubahan pada struktur sel otak sehingga membuat anak
menjadi tenang,” ujar dokter dari Rumah Sakit Pantai Indah Kapuk ini.
Penelitian menunjukkan, pemberian obat dengan methylphenidate bisa
meningkatkan fungsi eksekutif. Obat ini berfungsi meningkatkan sintesa
dan pelepasan dopamine dan neropinehrine. “Anak GPPH perlu mendapat obat
untuk membantu meningkatkan kemampuan belajar dan mengontrol
perilaku,” Lanjut Tjhin. Dengan semakin meningkatnya fungsi eksekutif,
anak bisa berkonsentrasi, dapat mengontrol dan mengendalikan emosi.
Tetapi
meskipun anak dengan GPPH ini bisa di sembuhkan, namun bukan berarti
terapi yang dilakukan pun melulu dengan medikasi saja. Diperlukan pula
terapi lain yang menyertai terapi medikasi. Terapi yang diterapkan
harus bersifat menyeluruh dan melibatkan dokter, psikiater, orang tua,
guru, dan lingkungan yang ada di sekitar. Terapi ini ditujukan untuk
mengurangi perilaku yang mengganggu, memperbaiki prestasi sekolah dan
hubungan dengan lingkungannya, serta mandiri baik di rumah maupun di
sekolah.
Tjhin melanjutkan penderitaan anak dengan GPPH ini bisa berlanjut hingga si anak beranjak dewasa. Maka jika sejak awal anak tidak mendapat pengobatan yang baik, maka saat ia menginjak remaja cenderung akan mengalami kenakalan remaja, bahkan depresi, namun tidak sampai ke tingkat bunuh diri.
Tjhin melanjutkan penderitaan anak dengan GPPH ini bisa berlanjut hingga si anak beranjak dewasa. Maka jika sejak awal anak tidak mendapat pengobatan yang baik, maka saat ia menginjak remaja cenderung akan mengalami kenakalan remaja, bahkan depresi, namun tidak sampai ke tingkat bunuh diri.
Menyikapi si Hiperaktif
Memang sulit memiliki anak dengan Gangguan Pemusatan
Perhatian
dan/Hiperaktivitas (GPPH) ini. Tapi tak perlu menyalahkan orang lain,
diri sendiri, lingkungan, atau bahkan si penderita. Rumondang Bulan
Siregar, pemilik Sekolah Berkebutuhan Khusus Citra Anindya mengatakan,
hal pertama yang harus dilakukan orang tua anak GPPH adalah menerima
dengan sepenuhnya keadaan anak saat ia divonis mengidap GPPH. Jika orang
tua mengerti akan keadaan anaknya maka ia pun dapat melakukan pola
asuh yang sesuai dengan keadaan si anak. Tapi jika orang tua sendiri
sulit untuk menerimanya dan terus menekan si anak, maka ia pun akan
makin sulit untuk berorientasi.
“Meskipun
lebih terfokus pada orang tua, namun ada baiknya keluarga besar dan
lingkungan juga sangat diperlukan bagi orang tua dalam menghadapi anak
GPPH,” ujar Rumondang. Selain itu, lanjutnya, orang tua juga harus
mempunyai ‘alarm’ terhadap perkembangan anaknya. Alarm yang dimaksud
adalah paham akan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak seusianya.
“Misalnya anak umur dua tahun tentunya sudah bisa berbicara, tapi
mengapa anak saya belum bisa? Atau anak lain bisa begini, mengapa anak
saya belum bisa atau mungkin malah berlebihan? Alarm tersebut hanyalah
sebagai sinyal bagi para orang tua,” imbuhnya.
Ketika
orang tua telah dapat melihat ‘alarm’ itu, ia bisa dengan segera
mengkonsultasikannya ke psikiater, dokter, atau pun psikolog.
Dengan memantau ‘alarm’ sejak dini orang tua akan dapat membantu anak GPPH untuk mengejar keterlambatannya. “Orang tua bisa menjadikan anak normal sebagai patokannya. Sehingga ia bisa melihat apa yang belum dan seharusnya bisa di lakukan anaknya pada usia tersebut,” tutur Rumondang.
Dengan memantau ‘alarm’ sejak dini orang tua akan dapat membantu anak GPPH untuk mengejar keterlambatannya. “Orang tua bisa menjadikan anak normal sebagai patokannya. Sehingga ia bisa melihat apa yang belum dan seharusnya bisa di lakukan anaknya pada usia tersebut,” tutur Rumondang.
Tjhin
juga menambahkan meskipun sel otak anak GPPH mengalami gangguan
seperti yang telah di sebutkan tadi, namun orang tua tidak boleh
memperlakukan anak tersebut berbeda dengan anak lain, apalagi menghina
atau melecehkannya. Yang terpenting adalah orang tua tidak boleh
menganakemaskan mereka. Ada baiknya dalam hal ini orang tua membuat
aturan-aturan yang telah disepakati bersama dengan anak. Misalnya jadwal
mandi pukul 5 sore, beri ia toleransi 15 menit. Lalu katakan padanya
‘kalau kamu tidak mandi pukul 05.15 maka kamu tidak boleh menonton
televisi’. “Jadi dalam hal ini orang tua juga memberikan hukuman pada
hal-hal yang disukainya. Tapi jangan berikan pinalti fisik atau hal-hal
yang ia benci, hal itu akan percuma,” terang Tjhin.
Meski
begitu, anak dengan GPPH masih bisa bersekolah di sekolah umum
layaknya anak normal lainnya. Karena yang bermasalah pada anak GPPH
adalah fungsi kontrol diri, emosi dan perilakunya yang tidak berkembang
baik sehingga bila diberi obat sejak dini maka fungsi dopamine-nya pun
akan membaik. Orang tua juga perlu sabar dan mendukung terapi yang
sedang di jalani anak. Jadi, bukan tindakan bijaksana untuk
berganti-ganti terapi sebelum tuntas.
“Kadang-kadang
orang tua tidak sabar, dan ingin mendapatkan hasil instan, padahal
terapi anak GPPH ini membutuhkan waktu yang lama. Kalau pada terapi
yang bagus, orang tua sudah bisa melihat perubahan pada tiga bulan
pertama, misalnya si anak sudah bisa berbicara,” lanjutnya, Namun yang
terpenting keterlibatan keluarga besar dan guru juga diperlukan agar
terapi dapat lebih efektif dan efesien.
Akan
lebih baik bila orang tua juga mengupayakan untuk mendapatkan dukungan
dalam “menemani” anak GPPH. Misalnya bergabung dalam komunitas orang
tua dengan anak berkebutuhan khusus . Hal ini penting untuk membangun
rasa percaya diri orang tua dalam mendidik anak dan mendapatkan
dukungan moril.
Yang harus dilakukan orang tua pada anak ADHD :
- Sedini mungkin membiasakan anaknya untuk hidup dalam suatu aturan. Dengan menerapkan peraturan secara konsisten, anak dapat belajar untuk mengendalikan emosinya.
- Sedini mungkin memberikan kepercayaan dan tanggungjawab terhadap apa yang seharusnya dapat dilakukan anak.
- Kenali kondisi diri dan psikis anak. Dengan mengenali, orang tua tak akan memberikan tekanan yang berlebihan, yang dapat menyebabkan penolakan anak untuk melakukan apa yang seharusnya ia lakukan.
- Upayakan untuk menyediakan ruang belajar yang jauh dari gangguan televisi, mainan atau kebisingan.
- Sedini mungkin melakukan monitoring dan evaluasi secara berkelanjutan, dan konsisten terhadap terapi yang sedang dijalankan oleh anak anda.
- Biasakan anak untuk mengekspresikan emosinya dalam bentuk tulisan atau gambar.
- Aturlah pola makan anak, hindari makanan dan minuman dengan kadar gula dan karbohidrat yang tinggi.
- Ajaklah anak berekreasi ke tempat-tempat yang indah. Hal ini akan membantu anak untuk berpikiran positif.
- Ajaklah anak untuk berlatih menenangkan diri. Misalnya dengan menarik nafas dalam-dalam dan keluarkan lewat mulut. Latihan ini bisa dilakukan berulang-ulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar