PERSINGGAHAN HATI
Selalu saja
begitu. Angin yang membelai bunga itu hanya lewat saja tanpa singgah sementara
waktu untuk berbagi canda. Jikalau memang bukan rumah tempat berteduh yang
nyaman, cukuplah mengetuk sebentar mahkota merekah itu. Namun tak ada yang bisa
memaksa sang bayu mengudara bebas.
Walaupun harapan sang bunga bermahkota jelita terlampau langka untuk memiliki
sang angin , dan membangun taman di sudut kota. Ironis, pertemanan sang sekar
dan sang bayu menjadi sebuah dongeng saja.
Dalam wajah kecewa
itu masih tersimpul senyum manis prahara hati yang sedang bergelora. Berapa
kali engkau mengucap dan melewatinya saja tanpa berbekas. Walau dengan izin
sehalus sang bayu membelai mahkota sekar, begitulah dan masih seperti itu
dirimu. Atas nama rasa malu ini, tak kuasa aku menghimpun ekspresi kecewaku
yang bertumpuk menggunung sedari pertemuan pertama. Melihatmu dengan senyum
yang bahagia, bertindak semaumu , dan kau sudah terlalu baik menjadi seorang
sahabat, walau bukan sahabat hati yang baik.
Bahkan ketika
tidak ada waktu sama sekali untukku, aku tetap berusaha mencairkan alasanmu
itu, mengalir seperti tak terjadi apa-apa. Sudah cukup kamu yang baik sebagai
seorang laki-laki. Walau pada suatu waktu persinggahanmu ini akan pergi dengan
meninggalkan senyum. Akar penerimaan eksistensi dirimu sudah terbangun kokoh,
walau menjalani perbedaan dan kesabaran tak terbatas, dirimu yang membalik
sikap ini dengan otomatis selalu menerima kamu apa adanya. Seakan orang
menganggap ada suatu rasa istimewa diriku kepadanya, dan apalah arti keistewaan
itu?seberapa dalam?. Itu semua hanya mengalir saja seperti naluri yang telah
memberi cahaya di jalan kehidupan ini.
Pernah kau
datang segala kesulitan dan mengadu padaku berharap akau ini menjadi
malaikatmu. Dan semua itu aku terima dengan pintu terbuka, siapalah aku ini,
manusia yang kelak juga akan meminta bantuan kepada orang lain. Dan hanya atas
nama rasa yang aku sendiri tidak bisa mengartikannya, seperti halusnya sang
banyu membelai mahkota sekar nan merekah. Aku rela menjadi apa yang kau
butuhkan tanpa ada beban. Karna senyum simpulmu telah menghapus kecemasan dan
kecurigaanku yang tak berasalasan.
Begitu dan
seterusnya, aku tak bisa menghentikan penerimaanku dan penolakanmu. Atau kata
orang waras ketidakadilan seperti ini. Mungkin aku terlau sabar atau aku terlau
berlebihan, seperti anjing pesuruh dihadapanmu?. Aku hanya menyimpannya dalam
ruang hati kecil ini dengan kunci rahasia yang hilang entah kemana. Tidak ada
sedikitpun pemberontakan atau agresipun ketika berhadapan denganmu. Semua
menjadi taman bunga yang indah ketika kata-kata terucap indah dari ruang
hatimu. Dan selalu saja kau hadirkan taman itu dalam hari kita.
Terakhir ini,
aku juga menerima penolakan atas janji yang telah kau ukir sendiri dengan
manis. Mungkin taman itu kuanggap telah memasuki musim gugur dan bunga mulai
meranggas karena panas. Hawa gerah menusuk kalbu seakan ingin berlari dalam
kebisuan dan tanpa klarifikasi yang pasti. Jikalau aku telah menjadi macan
ompong sedari dulu, kini ia telah bangkit dengan belangnya yang menakutkan.
Kelelahan bermain di taman ilusi dan akhirnya aku berpamitan menjadi wanita
yang sesungguhnya. Bukan lagi sang sekar yang rela dibuai belaian sang
bayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar