CAKRAWALA DI ATAS LANGIT KAMPUS
Senandung malam bersama ciuman angin menerpa pohon
cemarau. Dingin merasuk sukma yang hampa. Menunggu awan menghitam dan hujan
membasahi bumi pertiwi. Semakin dingin bercampur es dalam samudera atlantik
yang menggigil. Dingin dan tenang tetap menjadi dia yang sebenarnya. Berjalan
dengan ketenangan dan tanpa beban sekalipun. Aku ingin tahu dia yang dingin
bersua dengan kobaran api semangatku
mendalami dasar hati seorang dia.
Pertama terasa biasa saja dengan uniknya pribadi
masing-masing. Walaupun belajar seatap, tak menutup kemungkinan kita emang
berbeda dengan warna tersendiri. Dan inilah kesempatan emas pendekatan itu
dimulai. Senatural mungkin hanya just friend dan memperkaya pengetahuan dengan
metode curhat di bawah pohon mangga nan rindang. Tak ada niatan bejat untuk
menjadikan budak pelampiasan perasaan manusiawi hewani syaithoni. Sorot matanya
yang sayu namun tenang dan mendinginkan terik siang. Aku tahu bahwa dia cerdas
agamanya karena telah lama menuntut ilmu di pondok pesantren. Namun dengan gaya
anak gaul berstylekan hem kotak-kotak , dalaman T-shirt, jeans dan sepatu kets
memang non-formal banget, siapa takut duduk berbincang dengan dia dia. Sama
sekali jauh dari kesan santri yang berpecita, sarung rapat dengan baju koko
kancing rapat yang notabene ekslusif. Tabir kepribadianya telah tersingkap dari
perbincangan rutin seminggu sekali plus keihklasannya senantiasa mendidikku tak
kenal waktu. Kajian tasawuf yang excited antara curious dan confuse, sehingga
harus dia yang jadi mas bayan (penjelas) agar terhindar dari keraguan dan
kesesatan. Kuliah di STAIN memang tak semulus yang kubayangkan, banyak matkul
alien yang susah dicerna sendiri, terutama matkul relijius. Aku bangga dan
bersyukur tiada henti dipertemukan sang penolong dan pencerah macam dia, sang malaikat tanpa sayap.
Manusia langka yang apa adanya, kaya ilmu dan
murah senyum. Aku tak bisa menahan tawaku ketika percakapan itu mengalir begitu
saja, lepas landas siap untuk terbang bebas. Naluriku sudah jauh menyelami
jiwanya yang dingin dalam ketenangannya. Dia bak butiran salju yang tertiup angin,
mengikuti apa kata hati tak pandang gengsi dan standarisasi. Wah, bukannya aku
plagiat style dia 100%, tapi sejujurnya dia telah berkontribusi menunaikan
tugas orang tuaku yaitu mengajariku beribadah yang sebenarnya, bukan hanya
syariah saja namun menanamkan rasa ketuhanan dan keihklasan seorang hamba
kepada Tuhannya. Dia yang mengajariku memahami makna kehidupan dunia yang hanya
mampir ngombe, sebentar saja seperti bergantinya siang dan malam. Dunia ini
adalah ladang akhirat kita, jika manusia menanam kebaikan, pastilah Tuhan akan
membalaskan kebaikan juga, tak hanya di dunia namun juga di akhiratnya. Dan
bagaimana berjalan di dunia ini seperti melihat fatamorgana, penuh tipuan,
perhiasan dan ketakutan tanpa adanya pijakan shiratal mustakim yaitu
Al-Qur’anul karim. Setiap kata yang muncul dari tutur bahasanya yang santun
telah melelehkan panasnya api di jiwaku yang pemarah. Dia adalah sahabat dan
malaikat.
Walaupun caraku terkadang gila dan nekat. Namun
kerinduan duduk di bawah pohon rindang sembari beralasan tugas kampus sudah
menjadi hobi baru. Beralasan tugas yang berhubungang dengan pelajaran agama
harus dengan orang yang ahlinya, kalau ahlinya sudah di depan mata ya harus mau
menyumbangkan ilmunya, dan kalau tidak mau maka Alloh akan melaknat para alim
ulama yang menyembunyikan ilmu dengan kesombongannya. Memang laki-laki yang
sholeh sejati pasti tahu kaidah tolong menolong dalam kebaikan. Dan lagi-lagi
ini adalah kebetulan yang menguntungkan aku pastinya. Harus bikin jadwal
seminggu sekali angkat kertas tugas dan siapin pertanyaan siap segera tidak boleh
telat ketemu dia.
Suatu ketika kulihat alarm handphone jadulku
berbunyi tanda ada yang ulang tahun. Ternyata hari ini adalah hari ulang tahun
dia, tanggal 24 Juni. Aku memutar otak berfikir, kalau memberi kado pantas apa
tidak ya? Kalau tidak, koq lempeng-lempeng aja tak ada yang spesial. Akhirnya
kuputuskan merogoh uang saku terakhirku, tak peduli tak beli jajan tak masalah.
Notebook berwarna merah tua siap kuberikan padanya, yang pasti sesuai dengan
kantong mahasiswa. Merah sebenarnya agak norak untuk dia, seharusnya hitam atau
coklat warna gentleman. Ya sudahlah, mau gimana lagi stok cuma tinggal itu saja
kata mas Danang.
Setelah kubuat janji di depan masjid setelah
sholat Dhuhur, aku bergegas menggeber sepeda motorku untuk memberikan kado
ucapan terima kasihku ini. Kulihat dari kejauhan menungguku di depan pagar
masjid dengan sebatang rokok terselip di jari kiri. Tetap seperti dia yang
biasanya, pandangannya menerawang jauh ke atas seakan berkomunikasi dengan
Tuhan dengan pesan perdamaian. Bila kutebak sebenarnya dia hanya menikmati
hidup saja, kuliah, mengaji di pondok, kerja keras menghidupi diri sendiri dan
bersyukur kepada Illahi Rabbi. Seperti apa yang selalu dia ucapkan “Wah, kenapa
hidup dibikin susah, hidup kan adalah anugerah, sudah tergaris jelas, hanya
kita yang harus berusaha keras mewujudkan masa depan yang lebih baik. Bersyukur
saja setiap waktu dengan apa yang sudah kita usahakan hari ini, toh kita tidak
tahu kapan Alloh memanggil”. Tutur kata yang terucap itu seenteng pembawaannya
yang membuatku terus rindu. Bukan plagiat, but dia adalah motivator harianku.
Deru mesin motor kumatikan. Sebuah senyuman simpul
menyambut kehadiranku bersama tangan yang menyambut hangat uluran tangan.
“Asslamaualaikum. Sudah lama menunggu ya?” kataku
bersemangat.
“Walaikumsalam, ah baru 15 menit. Temenku tak
suruh nunggu di kampus. Santai saja, sudah nggak ada kuliah koq!” jawabnya
sambil menghisap rokok dengna nikmat.
“Hari ini adalah hari spesial lho...” kataku
memancing dia.
“Emang ada apa hari ini? Belum 17 Agustu kan?,
hahahaha. Candanya sambil melirikku.
“Wah, tak lihat kalender ya, tanggal berapa hari
ini?coba ingat-ingat deh. “ kataku sambil mengambil hadiah yang sudah
kupersiapkan sedari pagi sebelum berangkat kuliah. Walau ide muncul dadakan,
everything run smothly.
“Happy birthday yah?anggap aja ini ucapan terima
kasih karna mas sudah banyak membantuku. Bahasa Arabku udah lumayan, paling
tidak IP 2,75 bisa naik jadi 3 is the good job lho. Aku gak bisa balas jasa
baik mas. Just thanks aja”. Kataku sambil menyerahkan bngkusan coklat berisi
notebook. Raut mukanya terheran-heran antara tidak percaya dan kaget.
“Kau ini?pake acara kado segala. Padahal aku lupa
hari ini tanggal lahirku. Dari pagi tadi biasa saja tak ada satupun yang
mengucapakan, maklum cowok kadang cuek dengan hari ulang tahun. Makasih banyak
ya, baru kali ini dapat kado dari cewek.” Tutur dia dengan suara bahagia.
“Hidup akan berwarna jika kita punya banyak
sahabat, berbagi, berempati dan belajar bersama buatku udah cukup. Buat apa
punya pacar kalau mengekang kebebasan berteman. Dunia itu begitu luas untuk
berbagi dengan orang yang kita sayangi. Iya kan?. Wah, ini dari sudut pandangku
lho ya. Koq jadi curhat, hahahaha” tuturku sambil garuk-garuk kepala.
“Dan kamu adalah sahabatku yang berkontribusi
banyak dalam kehidupanku yang mungkin abstrak bisa jadi bermakna. Terima kasih
telah mengajariku hidup yang sebenarnya, bukan di negeri dongeng lagi atau
dalam tulisan fiksiku” tuturku dengan nada suara lembut diiringi hembusan angin
di sela pepohonan mangga nan meneduhkan.
“Hmmm,, wah aku jadi terbang ke langit tujuh nih.”
Kelakarnya dengan senyum melirik ke arahku.
“Bagiku, mempunyai sahabat entah wanita atau pria,
kaya atau miskin, preman atau ustadz semuanya sama. Pada dasarnya mereka tetap
punya hati yang suci sebagai manusia yang diciptakan berakal dan berhati nurani”.
Tambahnya dengan pandangan ke langit,
Selang 15 menit akhirnya aku berpamitan dan
berjabat tangan dengannya penuh rasa hormat. Lega rasanya bisa menorehkan
kenangan walaupun dengan sesuatu yang sangat sederhana. Persahabatan ini
mungkin antara kasih sayang sahabat dan pengharapan menjadi kekasih. Namun,
kuhapus seberkas keinginan negatifku yang mungkin akan menghancurkan persahatan
lawan jenis ini. Biarlah semua mengalir seperti air yang membasahi tanah kering
tandus gersang di pusara bumi pertiwi. Tanah dan air adalah kesatuan tak
terbantahkan. Begitu pula kasih sayang dalam jiwa manusia yang menghantarkannya
untuk saling berbagi dan membantu tanpa ada rasa pamrih yang seharusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar