“Pucuk daun itu menghijau menyusuri angin riuh rendah
terhampar di pusara bumi. Bila saat akarnya menggenggam tanah hangat
bersinarkan sang mentari. Seraya memejamkan mata, sang bunga menari dan terbang
bercanda dengan debu. Melesat tak tahu rimbanya, sedangkan raganya tertancap
kuat dalam pelukan bumi pertiwi. Siapa malaikat yang melintas dan menyapa sang
bunga?. Membelai dengan bisikan kasih sayang. Dan menyatu dalam aroma semerbak
mewangi berpijar lembut bak lentera.”
Sepenggal syair itu begitu menenangkan hati, dengan membawa imajenasi
terbang mengikuti alurnya. Dia tergila-gila dalam khayalan di otak kanannya,
yang tak bisa diterima dengan logika sehat. Semua berjalan seperti pada
umumnya, sedari pagi hingga malam menjemput.
Pandangannya terlalu tajam melihat masa depan yang berbeda. Kasih sayang
dan kepedulian adalah kunci mati impian yang tersimpan rapat di pintu hati.
Bagaimana menjadikan yang tak nampak menjadi nyata, yang abu-abu menjadi putih
bersih dan nyata menjadi kebiasaan.
Di tengah hiruk pikuk eklusivisme dan sekulerisme manusia
seperti mayat hidup yang powernya adalah nafsu. Bahkan nafsu angkara itu bak
tsunami yang menggulung keihklasan dan kasih sayang yang menjadi anugerah sifat
dasar manusia. Visi dan misi bersama tergubah otomatis dengankepentingan
pribadi. Sehingga, kuncup kasih sayang itu tak berkembang, kering dan jatuh
terlindas debu kedholiman.
Dia mengehela nafas sejenak dalam kepenatan. Akankah jalan
ini akan semulus pipi sang nona?. Setiap melihat ke depan jangan segan untuk
terus berjalan walaupun dihiasi dengan fatamorgana seperti bayangan kabur yang
memperburuk keadaan. Itu semua hanya
keraguan yang akan memperhebat ketakutan dan menciutkan nyali. Tunjukkan bahwa
manusia adalah makhluk yang sempurna, dan sanggup menata peradaban dunia dengan
pikiran dan tangannya yang disinari oleh wahyu illahi.
Maka bumi ini akan seindah taman firdausy dengan kesejukan
nyata. Mengalirlah sungai kaca dibawah telapak kaki penghuninya. Semua nyata
dalam pandangan mata dan jiwa.
Ini kata hatiku hari ini. Mana kata hatimu?
BalasHapus