Jumat, 22 November 2013

Cakrawala di atas Langit Kampus

CAKRAWALA DI ATAS LANGIT KAMPUS


Senandung malam bersama ciuman angin menerpa pohon cemarau. Dingin merasuk sukma yang hampa. Menunggu awan menghitam dan hujan membasahi bumi pertiwi. Semakin dingin bercampur es dalam samudera atlantik yang menggigil. Dingin dan tenang tetap menjadi dia yang sebenarnya. Berjalan dengan ketenangan dan tanpa beban sekalipun. Aku ingin tahu dia yang dingin bersua dengan kobaran api semangatku  mendalami dasar hati seorang dia.
Pertama terasa biasa saja dengan uniknya pribadi masing-masing. Walaupun belajar seatap, tak menutup kemungkinan kita emang berbeda dengan warna tersendiri. Dan inilah kesempatan emas pendekatan itu dimulai. Senatural mungkin hanya just friend dan memperkaya pengetahuan dengan metode curhat di bawah pohon mangga nan rindang. Tak ada niatan bejat untuk menjadikan budak pelampiasan perasaan manusiawi hewani syaithoni. Sorot matanya yang sayu namun tenang dan mendinginkan terik siang. Aku tahu bahwa dia cerdas agamanya karena telah lama menuntut ilmu di pondok pesantren. Namun dengan gaya anak gaul berstylekan hem kotak-kotak , dalaman T-shirt, jeans dan sepatu kets memang non-formal banget, siapa takut duduk berbincang dengan dia dia. Sama sekali jauh dari kesan santri yang berpecita, sarung rapat dengan baju koko kancing rapat yang notabene ekslusif.  Tabir kepribadianya telah tersingkap dari perbincangan rutin seminggu sekali plus keihklasannya senantiasa mendidikku tak kenal waktu. Kajian tasawuf yang excited antara curious dan confuse, sehingga harus dia yang jadi mas bayan (penjelas) agar terhindar dari keraguan dan kesesatan. Kuliah di STAIN memang tak semulus yang kubayangkan, banyak matkul alien yang susah dicerna sendiri, terutama matkul relijius. Aku bangga dan bersyukur tiada henti dipertemukan sang penolong dan pencerah macam  dia, sang malaikat tanpa sayap.
Manusia langka yang apa adanya, kaya ilmu dan murah senyum. Aku tak bisa menahan tawaku ketika percakapan itu mengalir begitu saja, lepas landas siap untuk terbang bebas. Naluriku sudah jauh menyelami jiwanya yang dingin dalam ketenangannya.  Dia bak butiran salju yang tertiup angin, mengikuti apa kata hati tak pandang gengsi dan standarisasi. Wah, bukannya aku plagiat style dia 100%, tapi sejujurnya dia telah berkontribusi menunaikan tugas orang tuaku yaitu mengajariku beribadah yang sebenarnya, bukan hanya syariah saja namun menanamkan rasa ketuhanan dan keihklasan seorang hamba kepada Tuhannya. Dia yang mengajariku memahami makna kehidupan dunia yang hanya mampir ngombe, sebentar saja seperti bergantinya siang dan malam. Dunia ini adalah ladang akhirat kita, jika manusia menanam kebaikan, pastilah Tuhan akan membalaskan kebaikan juga, tak hanya di dunia namun juga di akhiratnya. Dan bagaimana berjalan di dunia ini seperti melihat fatamorgana, penuh tipuan, perhiasan dan ketakutan tanpa adanya pijakan shiratal mustakim yaitu Al-Qur’anul karim. Setiap kata yang muncul dari tutur bahasanya yang santun telah melelehkan panasnya api di jiwaku yang pemarah. Dia adalah sahabat dan malaikat.
Walaupun caraku terkadang gila dan nekat. Namun kerinduan duduk di bawah pohon rindang sembari beralasan tugas kampus sudah menjadi hobi baru. Beralasan tugas yang berhubungang dengan pelajaran agama harus dengan orang yang ahlinya, kalau ahlinya sudah di depan mata ya harus mau menyumbangkan ilmunya, dan kalau tidak mau maka Alloh akan melaknat para alim ulama yang menyembunyikan ilmu dengan kesombongannya. Memang laki-laki yang sholeh sejati pasti tahu kaidah tolong menolong dalam kebaikan. Dan lagi-lagi ini adalah kebetulan yang menguntungkan aku pastinya. Harus bikin jadwal seminggu sekali angkat kertas tugas dan siapin pertanyaan siap segera tidak boleh telat ketemu dia.
Suatu ketika kulihat alarm handphone jadulku berbunyi tanda ada yang ulang tahun. Ternyata hari ini adalah hari ulang tahun dia, tanggal 24 Juni. Aku memutar otak berfikir, kalau memberi kado pantas apa tidak ya? Kalau tidak, koq lempeng-lempeng aja tak ada yang spesial. Akhirnya kuputuskan merogoh uang saku terakhirku, tak peduli tak beli jajan tak masalah. Notebook berwarna merah tua siap kuberikan padanya, yang pasti sesuai dengan kantong mahasiswa. Merah sebenarnya agak norak untuk dia, seharusnya hitam atau coklat warna gentleman. Ya sudahlah, mau gimana lagi stok cuma tinggal itu saja kata mas Danang.
Setelah kubuat janji di depan masjid setelah sholat Dhuhur, aku bergegas menggeber sepeda motorku untuk memberikan kado ucapan terima kasihku ini. Kulihat dari kejauhan menungguku di depan pagar masjid dengan sebatang rokok terselip di jari kiri. Tetap seperti dia yang biasanya, pandangannya menerawang jauh ke atas seakan berkomunikasi dengan Tuhan dengan pesan perdamaian. Bila kutebak sebenarnya dia hanya menikmati hidup saja, kuliah, mengaji di pondok, kerja keras menghidupi diri sendiri dan bersyukur kepada Illahi Rabbi. Seperti apa yang selalu dia ucapkan “Wah, kenapa hidup dibikin susah, hidup kan adalah anugerah, sudah tergaris jelas, hanya kita yang harus berusaha keras mewujudkan masa depan yang lebih baik. Bersyukur saja setiap waktu dengan apa yang sudah kita usahakan hari ini, toh kita tidak tahu kapan Alloh memanggil”. Tutur kata yang terucap itu seenteng pembawaannya yang membuatku terus rindu. Bukan plagiat, but dia adalah motivator harianku.
Deru mesin motor kumatikan. Sebuah senyuman simpul menyambut kehadiranku bersama tangan yang menyambut hangat uluran tangan.
“Asslamaualaikum. Sudah lama menunggu ya?” kataku bersemangat.
“Walaikumsalam, ah baru 15 menit. Temenku tak suruh nunggu di kampus. Santai saja, sudah nggak ada kuliah koq!” jawabnya sambil menghisap rokok dengna nikmat.
“Hari ini adalah hari spesial lho...” kataku memancing dia.
“Emang ada apa hari ini? Belum 17 Agustu kan?, hahahaha. Candanya sambil melirikku.
“Wah, tak lihat kalender ya, tanggal berapa hari ini?coba ingat-ingat deh. “ kataku sambil mengambil hadiah yang sudah kupersiapkan sedari pagi sebelum berangkat kuliah. Walau ide muncul dadakan, everything run smothly.
“Happy birthday yah?anggap aja ini ucapan terima kasih karna mas sudah banyak membantuku. Bahasa Arabku udah lumayan, paling tidak IP 2,75 bisa naik jadi 3 is the good job lho. Aku gak bisa balas jasa baik mas. Just thanks aja”. Kataku sambil menyerahkan bngkusan coklat berisi notebook. Raut mukanya terheran-heran antara tidak percaya dan kaget.
“Kau ini?pake acara kado segala. Padahal aku lupa hari ini tanggal lahirku. Dari pagi tadi biasa saja tak ada satupun yang mengucapakan, maklum cowok kadang cuek dengan hari ulang tahun. Makasih banyak ya, baru kali ini dapat kado dari cewek.” Tutur dia dengan suara bahagia.
“Hidup akan berwarna jika kita punya banyak sahabat, berbagi, berempati dan belajar bersama buatku udah cukup. Buat apa punya pacar kalau mengekang kebebasan berteman. Dunia itu begitu luas untuk berbagi dengan orang yang kita sayangi. Iya kan?. Wah, ini dari sudut pandangku lho ya. Koq jadi curhat, hahahaha” tuturku sambil garuk-garuk kepala.
“Dan kamu adalah sahabatku yang berkontribusi banyak dalam kehidupanku yang mungkin abstrak bisa jadi bermakna. Terima kasih telah mengajariku hidup yang sebenarnya, bukan di negeri dongeng lagi atau dalam tulisan fiksiku” tuturku dengan nada suara lembut diiringi hembusan angin di sela pepohonan mangga nan meneduhkan.
“Hmmm,, wah aku jadi terbang ke langit tujuh nih.” Kelakarnya dengan senyum melirik ke arahku.
“Bagiku, mempunyai sahabat entah wanita atau pria, kaya atau miskin, preman atau ustadz semuanya sama. Pada dasarnya mereka tetap punya hati yang suci sebagai manusia yang diciptakan berakal dan berhati nurani”. Tambahnya dengan pandangan ke langit,
Selang 15 menit akhirnya aku berpamitan dan berjabat tangan dengannya penuh rasa hormat. Lega rasanya bisa menorehkan kenangan walaupun dengan sesuatu yang sangat sederhana. Persahabatan ini mungkin antara kasih sayang sahabat dan pengharapan menjadi kekasih. Namun, kuhapus seberkas keinginan negatifku yang mungkin akan menghancurkan persahatan lawan jenis ini. Biarlah semua mengalir seperti air yang membasahi tanah kering tandus gersang di pusara bumi pertiwi. Tanah dan air adalah kesatuan tak terbantahkan. Begitu pula kasih sayang dalam jiwa manusia yang menghantarkannya untuk saling berbagi dan membantu tanpa ada rasa pamrih yang seharusnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar